Dalam
suatu negara kedudukan Perss sangat penting. Meskipun urgensi pers ini pada
kenyataannya tidak sampai yang seperti apa yang kita kehendaki. Tapi, yang
jelas dalam negara yang mengusung demokrasi sebagai panglima pemerintahan, pers
harus tetap ada meskipun peran-perannya untuk berapa saat dikebiri.
Urgensi
pers pada titik ini justru terlihat, bagaimana sebuah pemerintahan mengebiri
fungsi pers atas nama keamanan atau alasan lainnya. Artinya, secara potensial
pers memiliki posisi tawar yang tidak sedikit. Hal tersebut juga dipertegas
dengan konsepsi Riswandha (1998: 101), bahwa ada empat pilar pemelihara
persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelktual atau pers.
Di
Indonesia sendiri, melihat urgensi pers kita bisa mengambil dua rentang waktu
yang sama sekali berbeda. Orde Baru seperti kita ketahui adalah sebuah rezim
yang otoriter yang sempat memberangus kebebasan pers atas nama keamanan dan
ketertiban masyarakat. Sedang rentang waktu terkhir digambarkan sebagai masa
ketika kran-kran kebebasan terbuka. Terbukanya kran kedua ini juga banyak
dinilai sebagai keterbukaan yang keblabasan.
Yang
jelas dengan mengambil dua skuel waktu itu kita akan dapat membedakan bagaimana
pola komunikasi yang dibangun oleh masing-masing rezim. Karena stiap rezim
pasti memiliki sebuah gaya kepemimpinan untuk mensukseskan jalannya
pemerintahan; otoriter, ataupun demokratis.
PERS
YANG TERBATASI PADA ERA ORDE BARU
Di
masa Orde Baru mungkin nasib pers terlihat sangat mengkhawatirkan. Bagaiamana
tidak, pers sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan.
Dan sejarah juga memperlihatkan kepada kita bahwa adanya PWI (Persatuan
Wartawan Indonesia) tidak membawa perubahan yang sinifikan pada pola represi
itu. Yang ada justru PWI dijadikan media yang turut mencengkeramkan
kuku-kukunya pada kebebasan perss di masa lalu.
Hal
tersebut terlihat ketika terjadinya pembredelan pada beberapa media massa
nasional yang sempat nyaring bunyinya. Ketika Tempo dan Detik dibredel oleh
pemerintah, PWI yang seharusnya menggugat justru memberi pernyataan dapat
memahami atau menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pula
justru mengintruksikan kepada pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang
bersuara nyaring terhadap pemerintah. Sehingga tidak salah jika kita mencatat
bahwa PWI adalah salah satu dari alat pengendalian pers oleh pemerintah.
Pada
titik itulah Orde Baru memainkan politik hegemoninya melalui model-model
pembinaan. Setidaknya, ada dua arah pembinaan yang dapat kita lihat; pertama,
mengimbau atau tepatnya melarang pers memberitakan peristiwa atau isu tertentu
dengan segala alasan dan pembenaran, dan menunjukan kesalahan yang dilakukan
oleh Pers.
Sentuk lain dari hegemoni negara atas pers di tanah air adalah munculnya SIUPP
yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya dalam hal
pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala pemerintahan
menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa. Sehingga fungsi
pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan.
Sedangkan
pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang. Bahwa kebebasan
pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan politik menuju suatu
tatanan masyarakat yang demokratis, tetapi justru mendorong resistensi dan
represi negara. Penelitian yang dilakukan berkenaan dengan pers di awal masa
Orde Baru bisa jadi benar hanya pada titik tertentu. Artinya, pertanyaan yang
relevan untuk diajukan adalah mengapa negara begitu resisten dan represif
terhadap pers? Penelitian ini sendiri sama sekali tidak menyinggung hal
tersebut. Padahal pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang sangat mendasar
tentang sistem kepolitikan Orde Baru.
Jika
kita mencoba mejawab pertanyaan mendasar di atas, kita harus menengok bagaimana
pemerintahan Orde Baru berdiri. Soeharto memiliki latar belakang militer dalam
karir politiknya. Sehingga ketika ia menjadi presiden, ia tidak dapat
melepaskan diri dari gaya-gaya kepemimpinan ala militer.
Di
awal kepemimpinannya, ketika situasi dalam negeri sedikit-banyak mengalami
kekacauan akibat intrik-intrik politik dari berbagai kelompok kepentingan,
misalkan Partai Komunis Indonesia, bisa jadi kepemimpinan model militer adalah
yang tepat. Situasi yang darurat, anomali sosial begitu banyak, maka situasi
semcam itu perlu distabilkan agar tidak berdampak lebih buruk. Dapat kita lihat
bahwa fungsi militer pada masa Orde Baru adalah sebagai stabilisator juga
dinamisator. Dengan dua fungsi itu, militer atau tepatnya ABRI dengan
dwi-fungsinya ikut terlibat dalam penyusunan kebijakan-kebijakan politik Orde
Baru.
Sayangnya, model kepemimpinan ala militer itu tetap Soeharto pakai hingga era
1970-1980an. Padahal kondisi masyarakat saat itu sedikit-banyak sudah berubah.
Masyarakat semakin cerdas dan semakin paham tentang hakikat negara demokratis.
Dengan sendirinya model kepemimpinan Soeharto tertolak oleh kultur atau
masyarakat. Untuk tetap mempertahkan kekuasaanya Soeharto menggunakan cara-cara
represif pada semua pihak yang melawannya.
Pada
titik itulah, pers melihat bahwa model kepemimpinan yang digunakan Soeharto
akan memberangus kebebasan masyarakat. Artinya juga logika kekuasaan semacam
itu pada suatu waktu akan menghancurkan dirinya (pers), karena pers adalah
salah satu pilar penyusun sistem demokrasi yang memiliki funsgi pentingnya.
Artinya pola yang digunakan Soeharto pada esensinya kontradiktif dengan logika
pers itu sendiri. Tidak heran jika Orde Baru sedemikian represifnya dengan
pers, karena pers adalah penghalang bagi lahirnya demokrasi Pancasila yang
hegemonik dan dominatif.
Untuk
mengoperasikan model kepemimpinannya, maka Orde Baru harus mengideologisasikan
keamanan masyarakat. Artinya, Orde Baru harus mampu menciptakan kesan bahwa
rasa keamanan selalu dibutuhkan. Untuk menciptakan perasaan semacam ini pada
masyarakat, maka Orde Baru menggunakan logika perpetuation of insecurity atau mengabadikan
rasa ketidakamanan.
Dengan
mengabadikan rasa ketidakamanan ini, Orde Baru akan lancar ketika menggunakan
kepemimpinan yang militeristik. Sehingga, dengan sendirinya pengabadian rasa
ketidakamanan ini menjadikan kemanan layaknya seperti agama.
Keamanan
menjadi semacam agama, dalam pengertian ini ideologi kemanan bekerja seperti
dalam arti yang biasa. Ideologi kemanan merumuskan tindakan, mengatur kebijakan
negara, dan pada gilirannya kebijakan negara tersebut mengatur perilaku.
Nasib pers pada masa ideologisasi kemanan ini sangat sulit, karena pers harus
bertindak dalam kerangka yang abu-abu. Kerangka yang diterapkan kepada pers
adalah bagaimana pers mengalami sebuah bentuk tautologi represif. Artinya,
pemisahan antara kebebasan dan tanggungjawab. Orde Baru tidak memformulasikan
kebebasan pers yang bertanggung jawab—artinya, tanggung jawab adalah garis
batas kebebasan dan sebaliknya tidak kurang benarnya yakni kebebasan adalah
garis batas tanggungjawab. Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut tanggungjawab
dan tanpa tanggungjawab tidak mungkin menuntut kebebasan tetapi dengan rumusan
pers bebas dan bertanggungjawab.
Sumber: indoskripsi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar