Adinegoro (lahir di Talawi, Sumatera Barat,
14
Agustus 1904 – meninggal
di Jakarta, 8 Januari 1967 pada umur 62 tahun) adalah sastrawan Indonesia dan wartawan
kawakan. Ia berpendidikan STOVIA (1918-1925) dan pernah memperdalam pengetahuan mengenai jurnalistik,
geografi, kartografi, dan geopolitik di Jerman
dan Belanda (1926-1930).
Nama aslinya sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan
Djamaluddin gelar Datuk Maradjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan Muhammad
Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi
lain ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama
Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah. Ia memiliki seorang
istri bernama Alidas yang berdarah Sulit Air ,Solok, Sumatera Barat.
Masa muda
Adinegoro terpaksa memakai nama samaran karena ketika
bersekolah di STOVIA ia tidak diperbolehkan menulis. Padahal, pada saat itu
keinginannya menulis sangat tinggi. Maka digunakan nama samaran Adinegoro
tersebut sebagai identitasnya yang baru. Ia pun bisa menyalurkan keinginannya
untuk mempublikasikan tulisannya tanpa diketahui orang bahwa Adinegoro itu
adalah Djamaluddin gelar Datuk Madjo. Oleh karena itulah, nama Adinegoro
sebagai sastrawan lebih terkenal daripada nama aslinya, Djamaluddin.
Adinegoro sempat mengenyam pendidikan selama empat tahun di Berlin, Jerman. Ia mendalami masalah jurnalistik di sana. Selain itu, ia
juga mempelajari masalah kartografi, geografi, politik, dan geopolitik. Tentu
saja, pengalaman belajar di Jerman itu sangat banyak menambah pengetahuan dan
wawasannya, terutama di bidang jurnalistik. Adinegoro, memang, lebih dikenal
sebagai wartawan daripada sastrawan.
Ia memulai kariernya sebagai wartawan di majalah Caya
Hindia, sebagai pembantu tetap. Setiap minggu ia menulis artikel tentang
masalah luar negeri di majalah tersebut. Ketika belajar di luar negeri (1926—1930), ia nyambi menjadi wartawan bebas (freelance journalist)
pada surat kabar Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur, dan Panji Pustaka (Jakarta).
Setelah kembali ke tanah air, Adinegoro memimpin majalah
Panji Pustaka pada tahun 1931. Akan tetapi, ia tidak bertahan lama di sana, hanya enam
bulan. Sesudah itu, ia memimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan (1932—1942). Ia juga pernah memimpin Sumatra Shimbun selama dua tahun.
Kemudian, bersama Prof.
Dr. Supomo, ia memimpin majalah Mimbar Indonesia (1948—1950). Selanjutnya, ia memimpin Yayasan Pers Biro
Indonesia (1951). Terakhir, ia bekerja di Kantor Berita Nasional (kemudian
menjadi LKBN Antara). Sampai akhir hayatnya Adinegoro mengabdi di kantor berita
tersebut.
Ia ikut mendirikan Perguruan Tinggi Jurnalistik di Jakarta
dan Fakultas Publisistik dan Jurnalistik Universitas
Padjadjaran. Ia juga pernah menjadi Tjuo Sangi
In (semacam Dewan Rakyat) yang dibentuk Jepang (1942-1945), anggota Dewan Perancang Nasional, anggota MPRS, Ketua
Dewan Komisaris Penerbit Gunung Agung,
dan Presiden Komisaris LKBN Antara.
Karya-karyanya
Dua buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya dibuat pada
tahun 1928), yang membuat namanya sejajar dengan nama-nama novelis besar
Indonesia lainnya, adalah Asmara Jaya dan Darah Muda. Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1982), mengatakan bahwa Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih jauh menentang adat kuno yang
berlaku dalam perkawinan. Dalam kedua romannya Adinegoro bukan hanya menentang
adat kuno tersebut, melainkan juga dengan berani memenangkan pihak kaum muda
yang menentang adat kuno itu yang dijalankan oleh pihak kaum tua.
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel
lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke
Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada tahun 1930.
Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang
terjadi sekitar tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu
itu, berjudul "Kritik atas Kritik" terhimpun dalam Polemik Kebudayaan
yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja
(1977). Dalam esainya itu, Adinegoro beranggapan bahwa suatu
kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat
tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan
perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan
buah mangga, dan demikian pun sebaliknya.
Pada tahun 1950, atas ajakan koleganya Mattheus van
Randwijk, Adinegoro membuat atlas pertama berbahasa Indonesia. Atlas tersebut
dibuat dari Amsterdam, Belanda bersama Adam Bachtiar dan Sutopo. Dari mereka bertiga,
terbitlah buku Atlas Semesta Dunia pada tahun 1952. Inilah atlas pertama yang
diterbitkan dalam bahasa Indonesia sejak Indonesia merdeka. Pada tahun yang
sama setelah atlas itu muncul, mereka juga menerbitkan Atlas Semesta Dunia
untuk sekolah lanjutan.[1]
Buku
-
Revolusi
dan Kebudayaan (1954)
-
Ensiklopedia
Umum dalam Bahasa Indonesia (1954)
-
Ilmu
Karang-mengarang
-
Falsafah
Ratu Dunia
Novel
Cerita
pendek
-
Bayati es
Kopyor. Varia. No. 278. Th. Ke-6. 1961,
hlm. 3—4, 32.
-
Etsuko. Varia. No. 278. Th. Ke-6. 1961. hlm. 2—3, 31
-
Lukisan
Rumah Kami. Djaja. No. 83. Th. Ke-2. 1963.
hlm. 17—18.
-
Nyanyian
Bulan April. Varia. No. 293. Th. Ke-6. 1963.
hlm. 2-3 dan 31—32.
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar