Sumber:
http://id.wikipedia.org
Franciscus
Georgius Josephus van Lith SJ atau seringkali
disingkat sebagai Frans van Lith (17 Mei
1863–9 Januari
1926)
adalah seorang imam Yesuit
asal Oirschot,
Belanda
yang meletakkan dasar karya Katolik
di Jawa,
khususnya Jawa Tengah. Ia membaptis
orang-orang Jawa pertama di Sendangsono,
mendirikan sekolah guru di Muntilan, memperjuangkan status pendidikan orang
pribumi dalam masa pendudukan kolonial Belanda.
Beliau
terkenal karena mampu menyelaraskan ajaran agama Katolik Roma dengan ajaran Kejawen
sehingga bisa diterima oleh masyarakat Jawa.
Saat ini di Jawa Tengah dan Jawa Timur, agama Katolik merupakan sebuah agama
yang cukup banyak dianut oleh orang Jawa dan orang keturunan Tionghoa.
Paus Yohanes Paulus II, saat berpidato di Yogyakarta
tanggal 10 Oktober 1989,
mengatakan hari itu berada di jantung Pulau Jawa untuk secara khusus mengenang
mereka yang telah meletakkan dasar bagi umat-Nya, yaitu Romo Van Lith SJ dan
dua muridnya, Mgr Soegijapranata dan Bapak IJ. Kasimo.
Van
Lith tiba untuk pertama kalinya di Semarang
tahun 1896
kemudian belajar budaya dan adat Jawa
dan kemudian ditempatkan di Muntilan
sejak 1897.
Ia menetap di Desa Semampir di pinggir Kali Lamat.
Pada
14 Desember
1904
Van Lith membaptis 171 orang desa dari daerah Kalibawang di Sendangsono, Kulon Progo.
Peristiwa ini dipandang sebagai lahirnya Gereja di antara orang Jawa
dimana 171 orang menjadi pribumi pertama yang memeluk Katolik. Lokasi
pembaptisan ini yang sekarang menjadi tempat ziarah Sendangsono.
Pendidikan
Untuk Pribumi
Di
desa kecil Semampir ia mendirikan sebuah sekolah desa dan sebuah bangunan
gereja. Saat itulah ia memulai kompleks persekolahan Katolik
di Muntilan, mulai dari Normaalschool
di tahun 1900,
sekolah guru berbahasa Belanda atau Kweekschool
tahun 1904
dan kemudian pendidikan guru-guru kepala pada tahun 1906.
Sekolah guru untuk penduduk pribumi Jawa ini bisa dimasuki oleh anak Jawa dari
mana pun, dari agama apa pun. Awalnya memiliki murid 107 orang, 32 di antaranya
bukan Katolik.
Di
tahun 1911
dibuka secara resmi seminari (sekolah calon
pastor) pertama di Indonesia karena sebagian di antara lulusannya ingin jadi
pastor. Satu di antaranya Mgr. A. Soegijapranata
SJ (1896- 1963), yang kemudian menjadi Uskup Keuskupan Agung Semarang,
uskup pertama pribumi.
Gereja
kecil dan sekolah desa Semampir kemudian berkembang menjadi satu kompleks
gedung-gedung yang di tahun 1911 dinamai Kolese Franciscus Xaverius. Tahun 1948,
kompleks sekolah ini dibakar.
Lewat
pendidikan sekolah di Muntilan menghasilkan tokoh politik Katolik seperti Kasimo,
Frans Seda,
dan sejumlah tokoh lain.
Di
Klaten Van Lith berusaha mendirikan HIS. Mula-mula pengajuan
ijin pendirian sekolah HIS di Klaten ditolak oleh Asisten Residen dengan alasan
di Klaten telah berdiri HIS Protestan. Karena penolakan itu maka Pastur Van
Lith mengajukan permohonan langsung kepada Residen di Surakarta. Permohonannya
dikabulkan, sehingga pada tahun 1920
HIS Kanisius Klaten didirikan dan kegiatan pembelajaran dilaksanakan di rumah
penduduk.
Van
Lith memperjuangkan pendidikan bagi para pribumi. Ia mengusahakan pengiriman
mahasiswa-mahasiswa pribumi ke perguruan tinggi di Belanda
dan menganjurkan Yesuit
agar mendirikan kolese-kolese untuk pendidikan setara AMS.
Politik
Ia
menjadi anggota Dewan Pendidikan/Onderwijsraad tahun 1918.
Tahun itu pula ia diangkat menjadi anggota sebagai anggota Komisi Peninjauan
Kenegaraan Hindia Belanda/Commissie tot Herziening van de Grondslagen der
Staatsinrichting van Nederlandsch-Indië. Komisi tersebut dibentuk untuk
merealisasikan maksud pemerintah Belanda menata ketatanegaraan di Hindia
Belanda, yang melibatkan baik orang Belanda maupun orang pribumi. Dalam komisi
ini ia menuntut posisi perwakilan orang pribumi dalam Volksraad.
Ia
pun diusulkan sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) Partai Sarekat
Islam, pimpinan teman dekat Van Lith, K.H. Agus Salim.
Memang ia tidak pernah jadi anggota Dewan Rakyat. Tetapi, atas kegiatannya di
bidang pendidikan ditunjuk menjadi anggota Dewan Pendidikan Hindia Belanda dan
anggota Komisi Peninjauan Kembali Ketatanegaraan Hindia Belanda.
Di
kedua lembaga itu Pater Van Lith memperjuangkan kepentingan pribumi dan ini
tidak disukai oleh Belanda. Van Lith kemudian kembali ke Belanda pada tahun 1920
untuk memulihkan kesehatan. Maka, ketika mau kembali ke Indonesia setelah
berobat, dia dihalang-halangi oleh pemerintah Belanda.
Pastor van Lith - Pendiri Misi di Jawa
Kemungkinan
besar Anda tak asing dengan nama Mgr. Soegijapranata (uskup pribumi pertama dan
pahlawan nasional), Yos Sudarso (pahlawan nasional), Cornelius Simanjuntak
(komponis dan pahlawan nasional), I.J. Kasimo (pendiri Partai Katolik dan
menteri zaman Orde Lama) atau yang sekarang masih hidup: Frans Seda. Mereka—dan
masih banyak tokoh lain—telah mengambil perannya sendiri-sendiri dalam masyarakat.
Satu yang menyatukan, sama-sama pernah mengenyam pendidikan di (dulu) sekolah
guru Muntilan. Bahkan, ungkapan yang hingga kini masih sering diucapkan,
“Betlehem van Java (Muntilan sebagai Betlehem tanah Jawa),” tak juga bisa
dipisahkan dari pendiri sekolah tersebut: Pastor Fransiskus Georgius Yosephus
van Lith.
Pembela
Rakyat
Sejak
mula van Lith tidak berambisi untuk sesegera mungkin membaptis orang. Ia lebih
berpendirian: biarlah orang melihat kasih Kristus lewat kehadiran dirinya entah
akhirnya mereka memutuskan menjadi Kristen atau tidak. Bagi seorang van Lith,
Allah sendirilah yang akan berkarya memanggil orang per orang. Dirinya hanya
menjadi sarana.
Keyakinan
ini lagi-lagi terbukti benar ketika kelak Romo van Lith mempermandikan sekitar
200 orang dari Desa Kalibawang. Padahal, dari sekian banyak desa yang telah ia
datangi, Desa Kalibawang justru merupakan desa yang belum pernah ia sambangi.
Namun, dari Kalibawanglah tonggak misi (Katolik) di Jawa ditancapkan. Mereka
serentak dibaptis di sebuah sendang di Semagung. Sendang tersebut terletak di
antara dua batang pohon sono. Itulah cikal bakal Sendang Sono menjadi tempat
peziarahan rohani hingga sekarang.
“Pertobatan
jumlah yang tidak kecil itu mempunyai arti penting bagi saya dan juga bagi misi
Jawa ... Saya sudah memberi pelajaran di banyak desa ... tanpa ada hasilnya.
Justru daerah yang belum per-nah kudatangi menyatakan kesediaannya untuk
menjadi Katolik. Apakah itu bukan tangan Tuhan yang bekerja?” tulis van Lith
(sekitar tahun 1900). Karena keyakinannya itu, Pastor van Lith lebih memilih
untuk menjadi sahabat orang-orang di sekitarnya dari-pada buru-buru membaptis
mereka. Ia mendatangi desa-desa untuk berbincang-bincang mengenai apa saja,
termasuk masalah-masalah keluarga. Tak mengherankan bila karena itu Romo van
Lith memotret dengan akurat persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat kala
itu.
Salah
satunya, Pastor van Lith menangkap kenyataan bahwa para petani di daerah
Muntilan ketika itu sangat miskin. Kemiskinan itu melilit lantaran mereka
terjerat utang sehingga mereka terpaksa menggadaikan ladang atau sawah mereka.
Van Lith bertindak. Ia menebus surat-surat tanah para petani dari para rentenir
dan mengembalikannya kepada para petani.
Satu
lagi yang harus dicatat: van Lith tak pernah kenal payah bila sudah
bersinggungan dengan keadilan. Rakyat yang terjajah dan kurang pengetahuan
memang selalu menjadi bulan-bulanan hukum. Keadilan diputar balik sesuka
pemilik kapital, saksi-saksi palsu dihadirkan di persidangan, dan hakim-hakim
yang memihak kerap terjadi untuk menindas masyarakat yang sudah lemah. Demi
tegaknya keadilan bagi rakyat jelata, kerap kali Romo van Lith tampil sebagai
pembela mereka di persidangan. Bahkan, ia tak sungkan mendatangi para pamong
praja di kantornya untuk menuntut hak atas rakyat yang diperlakukan tidak adil.
Tindakan ini tentu bukan tanpa risiko. Fitnahan dan an-caman tak jarang
terlontar. Tapi, semua itu tak dipedulikannya demi martabat manusia lemah. Tak
berlebihan bila orang-orang pun menjulukinya “Bapa orang Jawa”.
Oh,
ya... tahun 1906 tiga orang dari Kalibawang menghadap Romo van Lith. Mereka
berpamitan ingin merantau karena keadaan ekonomi yang sangat menyedihkan. Romo
van Lith sebenarnya tidak rela ketiga anak rohaninya tersebut pergi. Tapi,
karena mereka tetap bertekad pergi, van Lith pun tak kuasa menahan mereka. Romo
menyarankan agar mereka pergi ke Jember. Mereka diantar ke stasiun dan diberi
uang untuk bekal. Saat kereta melaju, Pastor van Lith tak kuasa menahan air
matanya yang meleleh. Ia sedih anak-anak rohaninya akan pergi ke suatu tempat
yang tak ada pastornya. Tapi, hati kecilnya berkeya-kinan bahwa tiga orang
tersebut akan menjadi benih perkembangan gereja di Jawa Timur. Terbukti: dua
puluh tahun kemudian tercatat di Jember telah terdapat 100 orang Katolik.
Sebagai
Anggota Volksraad
Pemihakan
Pastor van Lith terhadap rakyat Indonesia, khususnya yang lemah, tidak terbatas
pada aksi karitatif sehari-hari. Ia juga gigih memperjuangkan hak rakyat
Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri di Volksraad (DPR).
“Dalam
rapat di Sukabumi saya menyatakan ‘tidak setuju’ terhadap sistem pemilihan yang
akan menjamin mayoritas keanggotaan orang-orang Belanda di lembaga
legislatif.... (sebab dengan demikian) akan kembalilah kumpeni lama dalam
bentuk baru. ... Walaupun saya tahu bahwa yang menentang pikiran saya ialah
Belanda-Belanda di Indonesia, saya sungguh-sungguh tak acuh mengenai
kepentingan mereka. ... Bila antara Indonesia dan Belanda ada sengketa dan saya
harus memilih, maka saya memilih pihak Indonesia.”
Kalimat-kalimat
tersebut ditulis oleh Pastor van Lith sendiri untuk menunjukkan sikap
politiknya saat ia menjadi panitia peninjauan perundang-undangan. Karena sikapnya
tersebut tak heran bila ia pun bersahabat dengan Suwardi dan Ciptomangunkusumo,
juga pejuang-pejuang kemerdekaan lain. Bahkan, pada pemilihan terakhir untuk
pencalonan anggota Volksraad, Pastor van Lith dicalonkan oleh Serikat Islam
untuk mewakili daerah Serang (Banten).
Merintis
Sekolah Guru
Sejak
awal Pastor van Lith berprinsip bahwa misi harus dibangun di atas pundak para
remaja dan pemuda-pemuda. Ia harus mencetak tenaga-tenaga pembantu dan dengan
demikian ia melipatgandakan dirinya. Namun, untuk itu, ia harus melahirkan
pemimpin-pemimpin dengan watak dan mental yang teguh.
Maaf,
Gereja pernah punya pengalaman pahit. Tahun 1897 — Tahun awal Romo van Lith
bertugas di Jawa — di wilayah Muntilan terdapat 30 orang Katolik. Mereka
dibaptis penda-hulu van Lith, Pastor van Hout. Dari ketiga puluh orang tersebut
terdapat 4 orang katekis untuk daerah Muntilan, Magelang, Bedono dan Ambarawa.
Di
Muntilan Pastor van Lith mendapati bahwa uang yang seharusnya untuk membeli
tanah dan menebus tanah para petani ditilap katekisnya. Di Magelang keadaannya
lebih buruk. Selain melakukan manipulasi keuangan, si katekis terbukti
mempunyai 2 orang istri. Hal yang sama juga terjadi di Bedono dan Ambarawa.
Pastor van Lith pun terpaksa memecat keempat katekis tersebut. Kejadian itu
jelas menoreh kesedihan mendalam pada diri van Lith; bukan pertama-tama karena
uangnya tetapi karena murid-murid terdekatnya ternyata sangat dangkal imannya.
Justru
karena itu, kelak orang-orang terpilih yang akan turut mengemban tugas misi haruslah
orang-orang berjiwa pemimpin dengan watak dan mental yang teguh serta memiliki
penghayatan iman yang dalam, tentunya. Bagi van Lith, tujuan ini hanya akan
tercapai bila ia bisa memantau perkembangan setiap muridnya setiap hari setiap
saat. Karena itu, para murid kelak harus tinggal di asrama.
Jadilah,
tahun 1903 sekolah guru dengan asrama dibuka di Muntilan. Be-berapa tahun
setelah itu, guru-guru yang sekaligus bisa mengajar agama mulai tersebar tidak
hanya di pulau Jawa tetapi hingga ke seluruh nusantara. Merekalah yang akhirnya
menjadi soko guru gereja di berbagai tempat di berbagai daerah. Demikianpun,
van Lith masih mengidam-idamkan sekolah guru untuk para putri. Dan, jerih
payahnya ini terwujud ketika tahun 1915 berdiri sekolah guru untuk perempuan di
Mendut.
Kembali
ke Indonesia
Tahun
1924
ia kembali dan kemudian menetap di Semarang
dan mendirikan sekolah HIS
dan Standaardschool
sambil mengajar para novis Yesuit.
Van Lith meninggal dunia pada tanggal 17 Mei 1926
di Semarang
dan dikebumikan di pemakaman Yesuit
di Muntilan.
Sumber:
-
Wikipedia Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar