RUMAH KELUARGA BAHAGIA

Minggu, 26 Februari 2017

Biografi Singkat Rm. Van Lith, SJ


Franciscus Georgius Josephus van Lith SJ atau seringkali disingkat sebagai Frans van Lith (17 Mei 18639 Januari 1926) adalah seorang imam Yesuit asal Oirschot, Belanda yang meletakkan dasar karya Katolik di Jawa, khususnya Jawa Tengah. Ia membaptis orang-orang Jawa pertama di Sendangsono, mendirikan sekolah guru di Muntilan, memperjuangkan status pendidikan orang pribumi dalam masa pendudukan kolonial Belanda.
Beliau terkenal karena mampu menyelaraskan ajaran agama Katolik Roma dengan ajaran Kejawen sehingga bisa diterima oleh masyarakat Jawa. Saat ini di Jawa Tengah dan Jawa Timur, agama Katolik merupakan sebuah agama yang cukup banyak dianut oleh orang Jawa dan orang keturunan Tionghoa.
Paus Yohanes Paulus II, saat berpidato di Yogyakarta tanggal 10 Oktober 1989, mengatakan hari itu berada di jantung Pulau Jawa untuk secara khusus mengenang mereka yang telah meletakkan dasar bagi umat-Nya, yaitu Romo Van Lith SJ dan dua muridnya, Mgr Soegijapranata dan Bapak IJ. Kasimo.
Van Lith tiba untuk pertama kalinya di Semarang tahun 1896 kemudian belajar budaya dan adat Jawa dan kemudian ditempatkan di Muntilan sejak 1897. Ia menetap di Desa Semampir di pinggir Kali Lamat.
Pada 14 Desember 1904 Van Lith membaptis 171 orang desa dari daerah Kalibawang di Sendangsono, Kulon Progo. Peristiwa ini dipandang sebagai lahirnya Gereja di antara orang Jawa dimana 171 orang menjadi pribumi pertama yang memeluk Katolik. Lokasi pembaptisan ini yang sekarang menjadi tempat ziarah Sendangsono.

Pendidikan Untuk Pribumi
Di desa kecil Semampir ia mendirikan sebuah sekolah desa dan sebuah bangunan gereja. Saat itulah ia memulai kompleks persekolahan Katolik di Muntilan, mulai dari Normaalschool di tahun 1900, sekolah guru berbahasa Belanda atau Kweekschool tahun 1904 dan kemudian pendidikan guru-guru kepala pada tahun 1906. Sekolah guru untuk penduduk pribumi Jawa ini bisa dimasuki oleh anak Jawa dari mana pun, dari agama apa pun. Awalnya memiliki murid 107 orang, 32 di antaranya bukan Katolik.
Di tahun 1911 dibuka secara resmi seminari (sekolah calon pastor) pertama di Indonesia karena sebagian di antara lulusannya ingin jadi pastor. Satu di antaranya Mgr. A. Soegijapranata SJ (1896- 1963), yang kemudian menjadi Uskup Keuskupan Agung Semarang, uskup pertama pribumi.
Gereja kecil dan sekolah desa Semampir kemudian berkembang menjadi satu kompleks gedung-gedung yang di tahun 1911 dinamai Kolese Franciscus Xaverius. Tahun 1948, kompleks sekolah ini dibakar.
Lewat pendidikan sekolah di Muntilan menghasilkan tokoh politik Katolik seperti Kasimo, Frans Seda, dan sejumlah tokoh lain.
Di Klaten Van Lith berusaha mendirikan HIS. Mula-mula pengajuan ijin pendirian sekolah HIS di Klaten ditolak oleh Asisten Residen dengan alasan di Klaten telah berdiri HIS Protestan. Karena penolakan itu maka Pastur Van Lith mengajukan permohonan langsung kepada Residen di Surakarta. Permohonannya dikabulkan, sehingga pada tahun 1920 HIS Kanisius Klaten didirikan dan kegiatan pembelajaran dilaksanakan di rumah penduduk.
Van Lith memperjuangkan pendidikan bagi para pribumi. Ia mengusahakan pengiriman mahasiswa-mahasiswa pribumi ke perguruan tinggi di Belanda dan menganjurkan Yesuit agar mendirikan kolese-kolese untuk pendidikan setara AMS.

Politik
Ia menjadi anggota Dewan Pendidikan/Onderwijsraad tahun 1918. Tahun itu pula ia diangkat menjadi anggota sebagai anggota Komisi Peninjauan Kenegaraan Hindia Belanda/Commissie tot Herziening van de Grondslagen der Staatsinrichting van Nederlandsch-Indië. Komisi tersebut dibentuk untuk merealisasikan maksud pemerintah Belanda menata ketatanegaraan di Hindia Belanda, yang melibatkan baik orang Belanda maupun orang pribumi. Dalam komisi ini ia menuntut posisi perwakilan orang pribumi dalam Volksraad.
Ia pun diusulkan sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) Partai Sarekat Islam, pimpinan teman dekat Van Lith, K.H. Agus Salim. Memang ia tidak pernah jadi anggota Dewan Rakyat. Tetapi, atas kegiatannya di bidang pendidikan ditunjuk menjadi anggota Dewan Pendidikan Hindia Belanda dan anggota Komisi Peninjauan Kembali Ketatanegaraan Hindia Belanda.
Di kedua lembaga itu Pater Van Lith memperjuangkan kepentingan pribumi dan ini tidak disukai oleh Belanda. Van Lith kemudian kembali ke Belanda pada tahun 1920 untuk memulihkan kesehatan. Maka, ketika mau kembali ke Indonesia setelah berobat, dia dihalang-halangi oleh pemerintah Belanda.

Pastor van Lith - Pendiri Misi di Jawa
Kemungkinan besar Anda tak asing dengan nama Mgr. Soegijapranata (uskup pribumi pertama dan pahlawan nasional), Yos Sudarso (pahlawan nasional), Cornelius Simanjuntak (komponis dan pahlawan nasional), I.J. Kasimo (pendiri Partai Katolik dan menteri zaman Orde Lama) atau yang sekarang masih hidup: Frans Seda. Mereka—dan masih banyak tokoh lain—telah mengambil perannya sendiri-sendiri dalam masyarakat. Satu yang menyatukan, sama-sama pernah mengenyam pendidikan di (dulu) sekolah guru Muntilan. Bahkan, ungkapan yang hingga kini masih sering diucapkan, “Betlehem van Java (Muntilan sebagai Betlehem tanah Jawa),” tak juga bisa dipisahkan dari pendiri sekolah tersebut: Pastor Fransiskus Georgius Yosephus van Lith.

Pembela Rakyat
Sejak mula van Lith tidak berambisi untuk sesegera mungkin membaptis orang. Ia lebih berpendirian: biarlah orang melihat kasih Kristus lewat kehadiran dirinya entah akhirnya mereka memutuskan menjadi Kristen atau tidak. Bagi seorang van Lith, Allah sendirilah yang akan berkarya memanggil orang per orang. Dirinya hanya menjadi sarana.
Keyakinan ini lagi-lagi terbukti benar ketika kelak Romo van Lith mempermandikan sekitar 200 orang dari Desa Kalibawang. Padahal, dari sekian banyak desa yang telah ia datangi, Desa Kalibawang justru merupakan desa yang belum pernah ia sambangi. Namun, dari Kalibawanglah tonggak misi (Katolik) di Jawa ditancapkan. Mereka serentak dibaptis di sebuah sendang di Semagung. Sendang tersebut terletak di antara dua batang pohon sono. Itulah cikal bakal Sendang Sono menjadi tempat peziarahan rohani hingga sekarang.
“Pertobatan jumlah yang tidak kecil itu mempunyai arti penting bagi saya dan juga bagi misi Jawa ... Saya sudah memberi pelajaran di banyak desa ... tanpa ada hasilnya. Justru daerah yang belum per-nah kudatangi menyatakan kesediaannya untuk menjadi Katolik. Apakah itu bukan tangan Tuhan yang bekerja?” tulis van Lith (sekitar tahun 1900). Karena keyakinannya itu, Pastor van Lith lebih memilih untuk menjadi sahabat orang-orang di sekitarnya dari-pada buru-buru membaptis mereka. Ia mendatangi desa-desa untuk berbincang-bincang mengenai apa saja, termasuk masalah-masalah keluarga. Tak mengherankan bila karena itu Romo van Lith memotret dengan akurat persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat kala itu.
Salah satunya, Pastor van Lith menangkap kenyataan bahwa para petani di daerah Muntilan ketika itu sangat miskin. Kemiskinan itu melilit lantaran mereka terjerat utang sehingga mereka terpaksa menggadaikan ladang atau sawah mereka. Van Lith bertindak. Ia menebus surat-surat tanah para petani dari para rentenir dan mengembalikannya kepada para petani.
Satu lagi yang harus dicatat: van Lith tak pernah kenal payah bila sudah bersinggungan dengan keadilan. Rakyat yang terjajah dan kurang pengetahuan memang selalu menjadi bulan-bulanan hukum. Keadilan diputar balik sesuka pemilik kapital, saksi-saksi palsu dihadirkan di persidangan, dan hakim-hakim yang memihak kerap terjadi untuk menindas masyarakat yang sudah lemah. Demi tegaknya keadilan bagi rakyat jelata, kerap kali Romo van Lith tampil sebagai pembela mereka di persidangan. Bahkan, ia tak sungkan mendatangi para pamong praja di kantornya untuk menuntut hak atas rakyat yang diperlakukan tidak adil. Tindakan ini tentu bukan tanpa risiko. Fitnahan dan an-caman tak jarang terlontar. Tapi, semua itu tak dipedulikannya demi martabat manusia lemah. Tak berlebihan bila orang-orang pun menjulukinya “Bapa orang Jawa”.
Oh, ya... tahun 1906 tiga orang dari Kalibawang menghadap Romo van Lith. Mereka berpamitan ingin merantau karena keadaan ekonomi yang sangat menyedihkan. Romo van Lith sebenarnya tidak rela ketiga anak rohaninya tersebut pergi. Tapi, karena mereka tetap bertekad pergi, van Lith pun tak kuasa menahan mereka. Romo menyarankan agar mereka pergi ke Jember. Mereka diantar ke stasiun dan diberi uang untuk bekal. Saat kereta melaju, Pastor van Lith tak kuasa menahan air matanya yang meleleh. Ia sedih anak-anak rohaninya akan pergi ke suatu tempat yang tak ada pastornya. Tapi, hati kecilnya berkeya-kinan bahwa tiga orang tersebut akan menjadi benih perkembangan gereja di Jawa Timur. Terbukti: dua puluh tahun kemudian tercatat di Jember telah terdapat 100 orang Katolik.

Sebagai Anggota Volksraad
Pemihakan Pastor van Lith terhadap rakyat Indonesia, khususnya yang lemah, tidak terbatas pada aksi karitatif sehari-hari. Ia juga gigih memperjuangkan hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri di Volksraad (DPR).
“Dalam rapat di Sukabumi saya menyatakan ‘tidak setuju’ terhadap sistem pemilihan yang akan menjamin mayoritas keanggotaan orang-orang Belanda di lembaga legislatif.... (sebab dengan demikian) akan kembalilah kumpeni lama dalam bentuk baru. ... Walaupun saya tahu bahwa yang menentang pikiran saya ialah Belanda-Belanda di Indonesia, saya sungguh-sungguh tak acuh mengenai kepentingan mereka. ... Bila antara Indonesia dan Belanda ada sengketa dan saya harus memilih, maka saya memilih pihak Indonesia.”
Kalimat-kalimat tersebut ditulis oleh Pastor van Lith sendiri untuk menunjukkan sikap politiknya saat ia menjadi panitia peninjauan perundang-undangan. Karena sikapnya tersebut tak heran bila ia pun bersahabat dengan Suwardi dan Ciptomangunkusumo, juga pejuang-pejuang kemerdekaan lain. Bahkan, pada pemilihan terakhir untuk pencalonan anggota Volksraad, Pastor van Lith dicalonkan oleh Serikat Islam untuk mewakili daerah Serang (Banten).

Merintis Sekolah Guru
Sejak awal Pastor van Lith berprinsip bahwa misi harus dibangun di atas pundak para remaja dan pemuda-pemuda. Ia harus mencetak tenaga-tenaga pembantu dan dengan demikian ia melipatgandakan dirinya. Namun, untuk itu, ia harus melahirkan pemimpin-pemimpin dengan watak dan mental yang teguh.
Maaf, Gereja pernah punya pengalaman pahit. Tahun 1897 — Tahun awal Romo van Lith bertugas di Jawa — di wilayah Muntilan terdapat 30 orang Katolik. Mereka dibaptis penda-hulu van Lith, Pastor van Hout. Dari ketiga puluh orang tersebut terdapat 4 orang katekis untuk daerah Muntilan, Magelang, Bedono dan Ambarawa.
Di Muntilan Pastor van Lith mendapati bahwa uang yang seharusnya untuk membeli tanah dan menebus tanah para petani ditilap katekisnya. Di Magelang keadaannya lebih buruk. Selain melakukan manipulasi keuangan, si katekis terbukti mempunyai 2 orang istri. Hal yang sama juga terjadi di Bedono dan Ambarawa. Pastor van Lith pun terpaksa memecat keempat katekis tersebut. Kejadian itu jelas menoreh kesedihan mendalam pada diri van Lith; bukan pertama-tama karena uangnya tetapi karena murid-murid terdekatnya ternyata sangat dangkal imannya.
Justru karena itu, kelak orang-orang terpilih yang akan turut mengemban tugas misi haruslah orang-orang berjiwa pemimpin dengan watak dan mental yang teguh serta memiliki penghayatan iman yang dalam, tentunya. Bagi van Lith, tujuan ini hanya akan tercapai bila ia bisa memantau perkembangan setiap muridnya setiap hari setiap saat. Karena itu, para murid kelak harus tinggal di asrama.
Jadilah, tahun 1903 sekolah guru dengan asrama dibuka di Muntilan. Be-berapa tahun setelah itu, guru-guru yang sekaligus bisa mengajar agama mulai tersebar tidak hanya di pulau Jawa tetapi hingga ke seluruh nusantara. Merekalah yang akhirnya menjadi soko guru gereja di berbagai tempat di berbagai daerah. Demikianpun, van Lith masih mengidam-idamkan sekolah guru untuk para putri. Dan, jerih payahnya ini terwujud ketika tahun 1915 berdiri sekolah guru untuk perempuan di Mendut.

Kembali ke Indonesia
Tahun 1924 ia kembali dan kemudian menetap di Semarang dan mendirikan sekolah HIS dan Standaardschool sambil mengajar para novis Yesuit. Van Lith meninggal dunia pada tanggal 17 Mei 1926 di Semarang dan dikebumikan di pemakaman Yesuit di Muntilan.

Sumber:
-        Wikipedia Indonesia 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar