Penulis : Al-Ustadz Saifuddin Zuhri, Lc.
إِنَّ
الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ
مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ
فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ
تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. [آل عمران: 102]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي
خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا
رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ
وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا [النساء: 1]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ
وَقُوْلُوا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا [الأحزاب: 70-71]
أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ
اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ
عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ
تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral
muslimin rahimakumullah
Marilah
kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menjalankan
perintah-perintah-Nya sekuat kemampuan kita, serta dengan menjauhi segala
larangan-Nya. Dan marilah kita senantiasa mengingat bahwa dunia yang kita
tempati ini bukanlah tempat tinggal selamanya. Bahkan sebenarnya kita sedang
dalam suatu perjalanan menuju tempat tinggal yang sesungguhnya di alam akhirat
nanti. Telah banyak orang yang dulunya bersama kita atau bahkan dahulu tinggal
satu rumah dengan kita, telah melewati dan meninggalkan dunia ini. Mereka telah
meninggalkan tempat beramal di dunia ini menuju tempat perhitungan dan
pembalasan amalan. Akan segera datang pula saatnya kita menyusul mereka. Maka,
marilah kita manfaatkan dunia ini sebagai tempat mencari bekal untuk kehidupan
akhirat kita. Sungguh seseorang akan menyesal ketika pada hari perhitungan amal
nanti dia datang dalam keadaan tidak membawa amal shalih. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ اْلإِنْسَانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى. يَقُوْلُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
“Pada
hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu
baginya. Dia mengatakan: ‘Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal
shalih) untuk hidupku (di akhirat) ini.” (Al-Fajr: 23-24)
Hadirin
yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Di dalam
perjalanan hidup di dunia ini, kita akan menjumpai hari-hari yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikan keutamaan di dalamnya. Yaitu dengan
dilipatgandakannya balasan amalan dengan pahala yang berlipat, tidak seperti
hari-hari biasanya. Di antara hari-hari tersebut adalah sepuluh hari pertama di
bulan Dzulhijjah. Hal ini sebagaimana tersebut di dalam sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ – يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ رَجُلاً خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
“Tidaklah
ada hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah dari hari-hari
tersebut (yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah).” Para
sahabat pun bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah jihad di jalan Allah tidak
lebih utama?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tidaklah
jihad lebih utama (dari beramal di hari-hari tersebut), kecuali orang yang
keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan
keduanya (karena mati syahid).” (HR. Al-Bukhari).
Saudara-saudaraku
kaum muslimin yang senantiasa dirahmati Allah SWT
Pada
sepuluh hari yang pertama ini, kita juga disyariatkan untuk banyak berdzikir
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik itu berupa ucapan takbir, tahmid, maupun
tahlil. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُوْمَاتٍ
“Dan
supaya mereka berdzikir menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.”
(Al-Hajj: 28)
Diterangkan
oleh para ulama bahwa hari-hari yang ditentukan pada ayat tersebut adalah
sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah. Maka hadits dan ayat tadi menunjukkan
keutamaan hari-hari tersebut dan betapa besarnya rahmat Allah Subhanahu wa
Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala masih
memberikan kesempatan bagi orang yang belum mampu menjalankan ibadah haji untuk
mendapatkan keutamaan yang besar pula, yaitu beramal shalih pada sepuluh hari
pertama di bulan Dzulhijjah. Sehingga sudah semestinya kaum muslimin
memanfaatkan sepuluh hari pertama ini dengan berbagai amalan ibadah, seperti
berdoa, dzikir, sedekah, dan sebagainya. Termasuk amal ibadah yang disyariatkan
untuk dikerjakan pada hari-hari tersebut –kecuali hari yang kesepuluh– adalah
puasa. Apalagi ketika menjumpai hari Arafah, yaitu hari kesembilan di bulan
Dzulhijjah, sangat ditekankan bagi kaum muslimin untuk berpuasa yang dikenal
dengan istilah puasa Arafah, kecuali bagi jamaah haji yang sedang wukuf di
Arafah. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika ditanya tentang puasa hari Arafah,
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
“(Puasa
Arafah) menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan
yang akan datang.” (HR. Muslim)
Adapun
bagi para jamaah haji, mereka tidak diperbolehkan untuk berpuasa, karena pada
hari itu mereka harus melakukan wukuf. Karena mereka memerlukan cukup kekuatan
untuk memperbanyak dzikir dan doa pada saat wukuf di Arafah.
Sehingga pada hari tersebut kita semua berharap untuk mendapatkan keutamaan
yang sangat besar serta ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa hari itu adalah hari
pengampunan dosa-dosa dan hari dibebaskannya hamba-hamba yang Allah Subhanahu
wa Ta’ala kehendaki dari api neraka. Sebagaimana dalam sabda beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيْهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Tidak
ada hari yang Allah membebaskan hamba-hamba dari api neraka, lebih banyak
daripada di hari Arafah.” (HR.
Muslim)
Hadirin
rahimakumullah,
Pada
bulan Dzulhijjah juga ada hari yang sangat istimewa yang dikenal dengan istilah
hari nahr. Yaitu hari kesepuluh di bulan tersebut, di saat kaum muslimin
merayakan Idul Adha dan menjalankan shalat Id serta memulai ibadah
penyembelihan qurbannya, sementara para jamaah haji menyempurnakan amalan
hajinya. Begitu pula hari-hari yang datang setelahnya, yang dikenal dengan
istilah hari tasyriq, yaitu hari yang kesebelas, keduabelas, dan ketigabelas.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkhususkan hari-hari tersebut sebagai hari-hari
untuk makan, minum, dan berdzikir. Dan hari-hari itulah yang menurut keterangan
para ulama adalah hari yang disebutkan dalam firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَاذْكُرُوا اللهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُوْدَاتٍ
“Dan
berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.”
(Al-Baqarah: 203)
Dan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan tentang hari-hari tersebut:
أَيَّامُ مِنَى أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Hari-hari
Mina (hari nahr dan tasyriq) adalah hari-hari makan dan minum serta berdzikir
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)
Saudara-saudaraku
kaum muslimin rahimakumullah,
Berkaitan
dengan dzikir yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kaum muslimin untuk
banyak mengucapkannya pada hari-hari tasyriq dan hari-hari sebelumnya di awal
bulan Dzulhijjah, para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Da`imah menyebutkan fatwa sebagai berikut:
“Disyariatkan
pada Idul Adha takbir mutlak dan takbir muqayyad. Adapun takbir mutlak maka
(disyariatkan untuk dilakukan) pada seluruh waktu dari mulai awal masuknya
bulan Dzulhijjah sampai hari yang terakhir dari hari-hari tasyriq. Sedangkan
takbir muqayyad (disyariatkan untuk dilakukan) pada setiap selesai shalat wajib
mulai dari setelah selesai shalat subuh pada hari Arafah
sampai setelah shalat ‘Ashr pada akhir hari tasyriq. Dan pensyariatkan hal
tersebut ditunjukkan oleh ijma’ dan perbuatan para shahabat radhiyallahu
‘anhum.”
Sebagaimana
ibadah lainnya, dzikir juga merupakan suatu amalan yang tata caranya tidak
boleh menyimpang dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga
para ulama juga memberikan peringatan dari dilakukannya takbir secara jama’i,
karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin. Yang dimaksud di sini adalah takbir yang diucapkan
secara bersama-sama dengan satu suara dan dipimpin oleh seseorang. Hal ini
sebagaimana tersebut dalam fatwa para ulama dalam
Al-Lajnah Ad-Da`imah yang isinya: “(Yang benar) adalah setiap orang melakukan
takbir sendiri-sendiri dengan suara keras. Karena sesungguhnya takbir dengan
cara bersama-sama (dengan satu suara yang dipimpin oleh seseorang) tidak pernah
dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
yang mengamalkan amalan yang tidak ada syariatnya dari kami maka amalan tersebut
ditolak.” (HR. Al-Bukhari Muslim)
Hadirin
rahimakumullah,
Akhirnya,
marilah kita berusaha memanfaatkan hari-hari yang penuh dengan keutamaan untuk
menambah dan meningkatkan amal shalih kita. Begitu pula kita manfaatkan waktu
yang ada untuk memperbanyak dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga
kita akan menjadi orang yang mendapatkan kelapangan hati, senantiasa takut
kepada-Nya dan terjaga dari gangguan setan, serta faedah
lainnya dari amalan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. {فَاذْكُرُوْنِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُوْنِ}. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ مَا تَسْمَعُوْنَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah
Kedua
الْحَمْدُ
لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَمَرَنَا بِاتِّبَاعِ صِرَاطِهِ الْمُسْتَقِيْمِ وَنَهَانَا
عَنِ اتِّبَاعِ سُبُلِ أَصْحَابِ الْجَحِيْمِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ الْمَلِكُ الْبَرُّ الرَّحِيْمُ، وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ بَلَّغَ اْلبَلاَغَ الْمُبِيْنَ وَقَالَ:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ تَلَقَّوْا عَنْهُ الدِّيْنَ
وَبَلَّغُوْهُ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ
الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral
muslimin rahimakumullah,
Marilah
kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan selalu
menjalankan berbagai ketaatan kepada-Nya. Di antara bentuk ketaatan yang sangat
besar keutamaannya dan sangat penting untuk mendekatkan diri kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala adalah menyembelih binatang qurban. Amalan ini merupakan
sunnah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Maka seorang muslim yang memiliki kemampuan semestinya menjalankan amal
ibadah yang mulia ini, yaitu menyembelih hewan qurban, baik dia lakukan sendiri
dan ini lebih afdhal, atau meminta orang lain yang mengetahui hukum dan cara
penyembelihan yang syar’i untuk melakukan penyembelihannya. Namun tidak boleh
baginya untuk membayar upah penyembelihannya dengan sebagian dari hewan
qurbannya, baik itu kepalanya, kulitnya, atau yang semisalnya. Meskipun boleh
baginya untuk memberinya sebagai sedekah sebagaimana diberikan kepada yang
lainnya dari kalangan fakir miskin. Atau bisa pula
dia memberikan sebagian dari hewan qurbannya sebagai hadiah, sebagaimana dia
berikan pula kepada yang lainnya baik tetangga ataupun kerabatnya meskipun
mereka orang yang kaya. Dan disunnahkan bagi orang yang berqurban untuk memakan
hewan sembelihannya, namun tidak boleh baginya untuk menjual bagian apapun dari
hewan sembelihannya. Begitu pula tidak boleh bagi orang yang berqurban untuk
memotong rambut dan kukunya dari mulai masuknya awal bulan Dzulhijjah sampai
dia melakukan ibadah penyembelihan hewan qurban. Yang demikian tadi disebutkan
dalam hadits-hadits yang shahih.
Saudara-saudaraku
kaum muslimin yang senantiasa dirahmati Allah SWT
Disebutkan
pula dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa untuk melaksanakan
ibadah qurban ini, tujuh orang atau kurang bisa bergabung secara bersama-sama
dengan menyembelih seekor onta atau sapi. Begitu pula bisa dengan menyembelih
seekor kambing, namun itu hanya mencukupi untuk satu orang. Namun dengan
menyembelih satu ekor kambing sudah mencukupi untuk diri dan keluarganya, baik
yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Dengan cara dia niatkan
pahalanya untuk dirinya dan seluruh keluarganya baik yang hidup maupun yang
telah meninggal dunia1. Maka semua akan mendapat keutamaan dan pahala yang
sangat besar. Wallahu a’lam bish-shawab.
Hadirin
rahimakumullah,
Ibadah
menyembelih qurban ini harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah
disyariatkan. Baik yang berkaitan dengan waktu penyembelihan maupun yang
berkaitan dengan kriteria dan syarat-syarat hewan yang bisa dijadikan sebagai
hewan qurban. Adapun yang berkaitan dengan waktu penyembelihan, waktunya adalah
dimulai dari setelah selesai shalat Idul Adha dan berakhir waktunya menurut
pendapat yang benar hingga tenggelamnya matahari pada hari ketiga belas di
bulan Dzulhijjah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيَذْبَحْ مَكَانَهَا أُخْرَى
“Barangsiapa
yang menyembelih sebelum shalat, maka sembelihlah (lagi) kambing untuk
menggantikan kambing (yang disembelih sebelum saatnya) tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hadirin
yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah SWT
Adapun
berkaitan dengan syarat hewan yang akan dijadikan sebagai hewan qurban, hewan
tersebut harus sudah mencapai umur yang telah ditentukan. Juga sebagaimana
disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hewan itu bukanlah
hewan yang buta satu matanya dan sangat jelas butanya, serta bukan pula hewan
yang terkena sakit dan sangat jelas sakitnya. Bukan pula hewan yang pincang
sehingga tidak bisa berjalan mengikuti lainnya, serta bukan hewan yang sudah
sangat tua sehingga tidak pantas untuk dikonsumsi dagingnya. Oleh karena itu,
wajib bagi kaum muslimin untuk belajar dan bertanya kepada ahlinya tentang
hal-hal yang berkaitan dengan ibadah qurban ini.
Hadirin
rahimakumullah,
Semestinya
seseorang yang berqurban berusaha untuk mencari sebaik-baik hewan yang akan
dijadikan sebagai hewan qurban. Hewan yang tinggi nilai/harganya, seperti yang
banyak dagingnya, bagus warnanya, dan kuat/sehat tubuhnya, atau yang
semisalnya. Karena, yang demikian termasuk bentuk pengagungan terhadap
syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menunjukkan besarnya ketakwaan
dirinya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ
“Dan
barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu menunjukkan
ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32)
Akhirnya,
mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan kepada kita
petunjuk-Nya sehingga kita bisa menjalankan ibadah sebagaimana yang
disyariatkan-Nya. Dan mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan
kita menjadi orang yang sia-sia amalannya, karena beribadah dengan tidak ikhlas
atau tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
Al-Khulafa` Ar-Rasyidin. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِاْلأَخْسَرِيْنَ أَعْمَالاً. الَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا
“Katakanlah:
‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya.” (Al-Kahfi: 103-104)
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ جَمِيْعِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ في كُلِّ مَكَانٍ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّهُ سَمِيْعٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ … اذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ الْجَلِيْلَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ، وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.
-
Tentang qurban bagi yang telah meninggal dunia,
bisa dilihat penjelasannya dalam Kajian Utama, red.
-
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar