RUMAH KELUARGA BAHAGIA

Sabtu, 04 Maret 2017

HADITS TENTANG ETOS KERJA by Catatan Kuliah Lucky



Ø  Pekerjaan yang paling baik
عَنْ رِفَاعَةَ بِنِ رَافِعٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيِهِ وَسَلَّمَ سَئِلَ : أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ عَمَلُ الرَّجُلِ بَيْدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبِرُوْرٍ. (رواه البزار وصححه الحـاكم)
Artinya: Dari Ripa’ah bin Ropi’, sesungguhnya Nabi SAW bertanya: pekerjaan apakah yang paling baik? Seorang laki-laki berusaha dengan hasil usahanya sendiri, dan setiap jual beli itu baik”. (HR. bazari dan sohih Hakim).

o   Penjelasan isi hadits
Islam senantiasa mengajarkan kepada umatnya agar berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak dibenarkan seorang muslim berpangku tangan saja atau berdoa mengharapkan rezeki datang dari langit tanpa mengiringinya dengan usaha. Namun demikian, tidak dibenarkan pula terlalu mengandalkan kemampuan diri sehingga melupakan pertolongan Allah SWT. Dan tidak mau berdoa kepada-Nya.
Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang menyuruh manusia untuk bekerja dan memanfaatkan berbagai hal yang ada di dunia untuk bekal hidup dan mencari penghidupan di dunia, di antaranya :
$uZù=yèy_ur u$pk¨]9$# $V©$yètB ÇÊÊÈ

Artinya :  “Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan,” (QS. An-Naba:11)

Ayat-ayat di atas pun menunjukkan bahwa kaum muslimin yang ingin mencapai kemajuan hendahknya harus bekerja keras. Dalam bekerja, sebaiknya ia menggunakan tangannya atau kemampuannya serta sesuai pula dengan sendiri sebagaimana dijelaskan dalam hadis di atas adalah pekerjaan yang paling baik.
Demikian pula ampunan Allah SWT. senantiasa menyertai orang yang keletihan dalam mencari rezeki, sebagaimana Rasulullah SAW. Bersabda :

مَنْ أَمْسَى كَالاًّ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ أَمْسَى مَغْفُوْرًا لَهُ. (رواه أحـمد)
Artinya : “Barang siapa merasa letih di dalam hari karena bekerja, maka di malam itu ia diampuni.” (HR. Ahmad)
Selain itu, Islam pun menjamin dan melindungi mereka yang mau bekerja keras dan menyuruh para majikan untuk menghargai kerja keras orang yang bekerja padanya.
Di antara hikmah dari rezeki yang dihasilkan melalui tangan sendiri adalah terasa lebih nikmat daripada hasil kerja orang lain. Juga akan menumbuhkan hidup hemat karena merasakan bagaimana payahnya mencari rezeki. Selain itu, ia pun tidak lagi menggantungkan hidupnya kepada orang lain, yang belum tentu selamanya rida dan mampu membiayai hidupnya.
Menurut Imam Al-Ghazali, manusia dalam hubungannya dengan kehidupan dunia dan akhirat terbagi pada tiga golongan.[1]
a.      Orang-orang yang sukses atau menang, yakni mereka yang lebih menyibukkan dirinya untuk kehidupan di akhirat daripada kehidupan dunia;
b.     Orang-orang yang celaka, yakni mereka yang lebih menyibukkan dirinya untuk kehidupan di dunia daripada kehidupan di akhirat.
c.      Orang yang berada di antara keduanya, yakni mereka yang mau menyeimbangkan antara kehidupan di dunia dan dikehidupan di akhirat.
Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, [2] mengutip pendapat seorang ahli hikmah, “Para pedagang yang tidak memiliki ketiga sifat di bawah ini, akan menderita kerugian dunia dan akhirat :
a.      Mulutnya suci dari bohong, laghwu (main-main/bergurau) dan sumpah;
b.     Hatinya suci dari penipuan, khianat, dari iri;
c.      Jiwanya selalu memlihara shalat Jum’at, shalat berjama’ah, selalu menimbah ilmu dan mengutamakan rida Allah SWT, daipada lainnya.”
Tentu saja tidak hanya dalam berjual beli yang harus diperhatikan kehalalanya dan kebersihannya, tetapi juga dalam setiap kasab, hendaknya menjadikan kehalalan dan kebersihan sebagai standar utama dalam mencari rezeki karena bagaiamanapun juga, Allah SWT, akan meminta pertanggungjawaban kelak di akhirat.
Menurut AL-Faqih Abu Laits Samarqandi :[3] “Orang yang mengiginkan (usaha, harta) yang halal, ia harus memelihara lima perkara, yaitu :
a.      Tidak menunda kewajibannya sebagai hamba Allah;
b.     Tidak ada seorang pun yang merasa dirugikan atau diganggu akibat usahanya;
c.      Memelihara kehormatan (harga) diri dan keluarga, bukan semata menghimpun harta sebanyak-banyaknya;
d.     Tidak membinasakan (memaksakan) diri dalam usaha; dan
e.      Tidak beranggapan bahwa rezekinya diperoleh dengan usahanya, melainkan datang langsung dari Allah SWT., sedangkan bekerja/usaha semata hanya faktor penyebab datangnya rezeki.”

Ø  Hadits tentang larangan meminta-minta
ü   حَدِيْثُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ الله عَنْـهُمَا، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَذَكَرَ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ وَالْمَسْئَلَةَ : اَلْيَدُالْعُلْيـَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، فَالْيَدُ اْلعُلْـيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ الَسَّـائِلَةُ. (أخرجه البخـارى فى : 24 كتاب الزكاة : 18 – لاصدفة الا عن ظهر غنى).
ü   حَدِيْثُ حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِىَ الله ُعَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَلْيَدُ العُلْيَـا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ الْسُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غَنىً وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ الله ُوَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ الله ُ(أخرجه البخـارى فى : 24 كتاب الزكاة : 18. لاصدقة الاعن ظهر غنى)
ü   حَدِيْثُ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ: قَـالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ : َلأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْـأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْيَمْنَعَهُ. (أخرجه البخـاري : 32- كتاب البيوع : 15- باب كسب الرجل وعمله بيده)
Artinya:
1.     “Ibnu Umar r.a. berkata, “Ketika Nabi SAW, berkotbah di atas mimbar dan menyebut sedekah dan meminta-minta, beliau bersabda, “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yagn dibawah, tangan yang di atas memberi dan tangan yang di bawah meminta.”
2.     Hakim bin Hazim berkata, “Nabi SAW, bersabda, “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, dan dahulukan keluargamu (orang-orang yang wajib kamu beri belanja), dan sebaik-baiknya sedekah itu dari kekayaan (yang berlebihan), dan siapa yang menjaga kehormatan diri (tidak minta-minta), maka Allah akan mencukupinya, demikian pula siapa yang beriman merasa sudah cukup, maka Allah akan membantu memberinya kekayaan.”
(Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam “Kitab Zakat,” bab “Tidak ada zakat kecuali dari orang yang kaya.”)
3.     “Abu Hrairah r.a. berkata : Rasulullah SAW, bersabda, Jika seorang itu pergi mencari kayu, lalu diangkat seikat kayu di atas punggunya (yakni untuk dijual di pasar), maka itu lebih baik bagimu daripada minta kepada seseorang baik diberi atau ditolak.”
(Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab; “Jual Beli Buyu” bab “Kasab seorang laki-laki dan bekerja dengan tangan sendiri.”)

o   Penjelasan isi hadits
Islam sangat mencela orang yang mampu untuk berusaha dan memiliki badan yang sehat, tetapi tidak mau berusaha, melainkan hanya menggantungkan kehidupanya pada orang lain. Misalnya, dengan cara meminta-minta. Keadaan seperti itu sangat tidak sesuai dengan sifat umat Islam yang mulia dan memiliki kekuata, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya :
¬!ur äo¨Ïèø9$# ¾Ï&Î!qßtÏ9ur šúüÏZÏB÷sßJù=Ï9ur ÇÑÈ
Artinya : “……Kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin……,”
Dengan demikian, seorang peminta-minta, yang sebenarnya mampu mencari kasab dengan tangannya, selain telah merendahkan dirinya, ia pun secara tidak langsung telah merendahkan ajaran agamanya yang melarang perbuatan tersebut. Bahkan ia dikategorikan  sebagai kufur nikmat karena tidak menggunakan tangan dan naggota badannya untuk berusaha dan mencari rezeki sebagaimana syara’. Padahal Allah pasti memberikan rezeki kepada setiap makhluk-Nya yang berusaha.
Dalam ketiga hadis di atas dinyatakan secara tegas bahwa tangan orang yagn di atas (pemberi sedekah) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang diberi). Dengan kata lain, derajat pemberi lebih tinggi daripada derajat peminta-minta.
Orang yang tidak meminta-minta dan menggantungkan hidup kepada oran glain meskipun hidupnya serba kekurangan, lebih terhormat dalam pandangan Allah SWT.

Ø  Ujian Allah Terhadap Muslim Yang Taat

حديث عَائِشَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهَا، زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهَ وَسَلَّمَ قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَامِنْ مُصِيْبَةٍ تُصِيْبُ الْمُسْلِمَ، إِلاّ َكَفَّرَ الله ُبِـهاَ عَنْهُ. حَتىَّ الشَّوْكَةِ يُشَـاكُهَا. (أخرجه البخارى فى : 75- كتاب المرضى : 1- باب ما جاء فى كفـارة المرض).

حديث أَبِيْ سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ وَأَبِى هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ الله صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَايُصِبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصِبِ، وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ، وَلاَ حُزْنٍ، وَلاَأَذًى، وَلاَغَمٍّ، حَتىَّ الشَّوْكَةِ يُشَـاكُهَا، إِلاَّ كَفَّرَ الله ُبِـهَا مِنْ خَطَايَاهُ. (أخرجه البخارى فى : 75- كتاب المرضى : 1- باب ما جاء فى كفـارة المرض).

Artinya:
1.      Aisyah berkata, Rasulullah SAW. Bersabda: tiada musibah yang menimpa pada seorang Muslim melainkan Allah akan menghapus dosanya dengan musibah itu, walaupun hanya duri yang mengenainya. (HR. Bukhari, Muslim).
2.     Abu Sa’id dan Abu Hurairah ra. Keduanya berkata: Nabi SAW. Bersabda tiada sesuatu yang menimpa seorang muslim berupa lelah (cape) atau penyakit, atau kerisauan, kesedihan , gangguan, sampaipun duri yang mengenainya melainkan Allah akan menjadikan semua itu sebagai penebus dosa. ( HR. Bukhari, Muslim).

o   Penjelasan isi hadits
Sebelum seorang hamba dinaikan derajatnya dihadapan Allah, maka Allah SWT. Senantiasa menguji hambanya terlebih dahulu untuk membuktikan ketaatanya, apakah dengan ujian yang Allah berikan itu manusia akan tetap istiqomah, ataukah sebaliknya dengan ujian yang diberikan Allah akan membuatnya tambah kufur terhadap Allah. Maka dengan demikian jelaslah, tidaklah mudah menjadi muslim yang benar-benar taat terhadap Allah swt, karena sebelumnya kita akan senantiasa dihadapkan dengan beraneka ragam ujian yang diberikan oleh Allah SWT.
            Kedua hadits diatas setidakanya memberikan gambaran kepada kita, khususnya kepada hamba-hamba yang tengah mengalami ujian yang sangat berat, bahwa setiap ujian yang diberikan Allah kepada Muslim yang ta’at, itu semata-mata sebuah kifarat terhadap dosa yang pernah dia lakukan terhadap Allah. Jadi jika kita diberikan ujian yang sangat besar dan berat untuk dijalaninya, itu semata-mata akan Allah jadikan sebagai penebus dosa yang pernah dilakukannya kepada Allah SWT. Bukan berarti dibalik ujian itu tidak tekandung hikmah, akan tetapi sebaliknya banyak sekali hikmah yang terkandung dalam perjalanan menghadapi ujian tersebut, diantaranya: kita semakin menyadari bahwa diri kita hanyalah hamba yang kecil dihadapan Allah, kita tidak dapat berbuat apa-apa melainkan dengan ijin dan kehendak Allah SWT


[1] Lihat Muhammad Al-Husaini Al-Jabidy, Ittikhaf As-Sadah Al-Muttaqien, (Beirut : Daar Al-Kutub Al-Ikmiyah, t.t.), hlm, 248
[2] Al-Faqih, Op. Cit., hlm. 451
[3] Ibid., hal 454

Tidak ada komentar:

Posting Komentar