Rendra (Willibrordus Surendra Bawana Rendra), lahir di Solo, Jawa Tengah,
7
November 1935 – meninggal
di Depok, Jawa Barat,
6
Agustus 2009
pada umur 73 tahun) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai
"Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta
pada tahun 1967. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan
politik, kemudian ia mendirikan Bengkel Teater Rendra di Depok, pada
bulan Oktober 1985. Semenjak masa kuliah ia sudah aktif menulis cerpen dan esai
di berbagai majalah.
Masa kecil
Rendra adalah anak dari pasangan R.
Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya
adalah seorang guru Bahasa Indonesia
dan Bahasa
Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya
adalah penari serimpi di keraton Surakarta.
Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya.
Pendidikan
-
TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.
-
SD s/d SMU Katolik, St. Yosef, Solo
- Tamat pada tahun 1955.
-
Jurusan Sastra Inggris, Fakultas
Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta - Tidak tamat.
-
Mendapat beasiswa American Academy
of Dramatical Art (1964 - 1967).
Rendra sebagai sastrawan
Bakat sastra Rendra sudah mulai
terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan
kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek
dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis,
ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan
terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.
Ia petama kali mempublikasikan
puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu,
puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu,
seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut
seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama
majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.
"Kaki Palsu" adalah drama
pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan”
adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari
Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu
ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk
berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989),
berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak
termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai
kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya
terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.
Ia juga aktif mengikuti
festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International
Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988),
Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).
Bengkel Teater dan Bengkel Teater
Rendra
Pada tahun 1967, sepulang dari Amerika
Serikat, ia mendirikan Bengkel Teater yang
sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di
tanah air. Namun sejak 1977 ia mendapat kesulitan untuk tampil di muka publik
baik untuk mempertunjukkan karya dramanya maupun membacakan puisinya. Kelompok
teaternyapun tak pelak sukar bertahan. Untuk menanggulangi ekonominya Rendra
hijrah ke Jakarta, lalu pindah ke Depok. Pada 1985, Rendra mendirikan Bengkel
Teater Rendra yang masih berdiri sampai sekarang dan menjadi basis bagi
kegiatan keseniannya.
Bengkel teater ini berdiri di atas
lahan sekitar 3 hektar yang terdiri dari bangunan tempat tinggal Rendra dan
keluarga, serta bangunan sanggar untuk latihan drama dan tari.
Di lahan tersebut tumbuh berbagai
jenis tanaman yang dirawat secara asri, sebagian besar berupa tanaman keras dan
pohon buah yang sudah ada sejak lahan tersebut dibeli, juga ditanami baru oleh
Rendra sendiri serta pemberian teman-temannya. Puluhan jenis pohon antara lain,
jati, mahoni, ebony, bambu, turi, mangga, rambutan, jengkol, tanjung, singkong
dan lain-lain.
Penelitian tentang karya Rendra
Profesor Harry Aveling, seorang
pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan
Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra
dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920
to 1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman
bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras
Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen
Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg
1977.
Penghargaan
-
Hadiah Pertama Sayembara Penulisan
Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta
(1954)
-
Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
-
Anugerah Seni dari Pemerintah
Republik Indonesia (1970)
-
Hadiah Akademi Jakarta (1975)
-
Hadiah Yayasan Buku Utama,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
-
Penghargaan Adam Malik (1989)
-
The S.E.A. Write Award (1996)
-
Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Kontroversi pernikahan, masuk Islam
dan julukan Burung Merak
Baru pada usia 24 tahun, ia
menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya
pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas
Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya
adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di
Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain
menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.
Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti,
Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia
dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra,
kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito
yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang
pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus
Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta
dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970,
dengan saksi Taufiq
Ismail dan Ajip Rosidi.
Peristiwa itu, tak pelak lagi,
mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa
ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak
persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya
dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa
menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan
individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa
memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya
dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih
dekat dari urat leher seseorang.
Toh kehidupannya dalam satu atap
dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar
popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu
seorang rekannya dari Australia di Kebun binatang Gembira Loka, Yogyakarta.
Ketika melihat seekor burung
merak berjalan bersama dua betinanya,
Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak
itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia
mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel
Saraswati
Sang Burung Merak kembali
mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan
Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah
kelahiran Maryam, Rendra diceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun
1981.
Sejak tahun 1977 ketika ia sedang
menyelesaikan film garapan Sjumanjaya, "Yang Muda Yang Bercinta" ia
dicekal pemerintah Orde Baru. Semua penampilan di muka publik dilarang. Ia
menerbitkan buku drama untuk remaja berjudul "Seni Drama Untuk Remaja"
dengan nama Wahyu Sulaiman. Tetapi di dalam berkarya ia menyederhanakan namanya
menjadi Rendra saja sejak 1975.
Beberapa karya
Drama
-
Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
-
Bib Bob Rambate Rate Rata (Teater
Mini Kata) – 1967
-
SEKDA (1977)
-
Selamatan Anak Cucu Sulaiman
(dimainkan 6 kali)
-
Mastodon dan Burung Kondor (1972)
-
Lysistrata (terjemahan)
-
Kasidah Barzanji (dimainkan 2 kali)
-
Panembahan Reso (1986)
-
Kisah Perjuangan Suku Naga
(dimainkan 2 kali)
-
Shalawat Barzanji
-
Sobrat
Kumpulan Sajak/Puisi
-
Ballada Orang-Orang Tercinta
(Kumpulan sajak)
-
Blues untuk Bonnie
-
Empat Kumpulan Sajak
-
Sajak-sajak Sepatu Tua
-
Mencari Bapak
-
Perjalanan Bu Aminah
-
Nyanyian Orang Urakan
-
Pamphleten van een Dichter
-
Potret Pembangunan Dalam Puisi
-
Disebabkan Oleh Angin
-
Orang Orang Rangkasbitung
-
Rendra: Ballads and Blues Poem
-
State of Emergency
Tidak ada komentar:
Posting Komentar