Trisno Sumardjo
(lahir: 1916 - wafat: 21 April
1969) adalah seorang penerjemah Indonesia yang antara lain menterjemahkan A Midsummer Night's Dream karya Shakespeare.
Dalam pelataran sejarah seni rupa Indonesia, nama Trisno Sumardjo mungkin tidak
selegendaris S Sudjojono yang karismatik dan kontroversial. Dia juga bukan
pelukis berhasil jika Affandi dijadikan patokannya.
Tidak seperti halnya Sang SS 101 yang sering dikutip penulis
seni rupa kita, pikiran-pikiran tokoh kelahiran Surabaya itu jarang mendapat
tempat dalam wacana seni lukis Indonesia. Padahal, tidak jarang pemikiran
seninya tampak jernih dan tajam, khususnya tatkala dia melihat gejala lahirnya
seni lukis modern kita. Dia, misalnya, menulis karakter seni lukis modern
Indonesia yang dibidani kelompok Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia
1937) itu sebagai peristiwa terjadinya pembebasan diri seniman untuk mulai
memberlakukan sikap hidup dan tradisi baru.
Karakteristik Persagi, demikian dia menyebutnya, adalah
langkah baru seniman untuk menyingkirkan mental kolektif dengan lebih
mengutamakan kekuatan individunya. Kolektivisme di sana dianggap Trisno
Sumardjo berasal dari agama, filsafat, dan susunan tata negara baik feodal
maupun kolonial.
Agaknya, dibandingkan dengan S Sudjojono, Trisno Sumardjo
adalah salah seorang yang berusaha meneorikan seni lukis modern Indonesia tanpa
terburu-buru memberi kesimpulan. Kedua orang yang bersahabat itu pun dikabarkan
pernah berseteru di tahun 1950-an ketika S Sudjojono menganjurkan setiap
pelukis kembali ke realisme. Trisno membantah bahwa: "Rakyat kita tidak
hanya mengerti realisme, melainkan juga cara-cara lain. Sebab, umumnya rakyat
dari dahulu kala telah mengenal deformasi, baik dalam bentuk maupun warna.
Perhatikan wayang-wayang kulit, relief-relief Borobudur, patung-patung serta
lukisan Bali, dan sebagainya. Bukankah hal-hal yang ekspresif, stylistis, dan
dekoratif di dalamnya itu jauh dari realisme?"
Pelukis Nashar (Horison, No 6, 1969) sempat mengenang
sosoknya yang berwatak keras dan kaku. Namun, masih mengikuti Nashar,
mengutamakan kebebasan individu adalah teladan dari seorang Trisno Sumardjo.
Nashar sempat membayangkan sosoknya yang cepat naik pitam jika ada seniman yang
hanyut atau mengarah pada ketidakbebasannya sendiri. Kepada pelukis Nashar dan
Zaini, dia pernah berujar: "Kalian sebagai seniman jangan hanya melukis
saja, lakukanlah sesuatu yang lebih luas."
Publik seni mengenal sosok ini sebagai seorang pelukis,
pengarang, penerjemah karya-karya sastra dunia, dan seorang kritikus seni.
Rasanya, sepanjang hidupnya hanya mengabdi pada perbaikan kesenian. Nashar pun
sempat mencatat ucapannya: "Kesenian, bukanlah alat untuk mengejar materi
atau mencari keharuman nama."
Trisno Sumardjo memang wafat menelan idealismenya dalam
kemelaratan. Batu nisannya adalah sebuah buku kecil yang lusuh yang disunting
sastrawan Korrie Layun Rampan. Tetapi, buku lusuh itu sangat membantu generasi
sekarang memahami dan mengingat-ingat sosoknya. Buku yang terbit pada tahun
1985 itu semakin lusuh karena diberi judul: Trisno Sumardjo, Pejuang Kesenian
Indonesia.
Risalah Pluralitas 1956 dan Lahirnya Mazhab Bandung
Berbeda dengan anggapan dalam dunia seni rupa kita yang
meyakini fenomena pluralitas digagas pada era 1990-an (yang konon ikut
didongkrak pemikiran pascamodern), saya menilai bahwa isu pluralitas dalam seni
rupa Indonesia sesungguhnya telah merebak melalui tulisan Trisno Sumardjo pada
tahun 1956 meskipun dia tidak terang-terangan menyebut istilah tersebut.
Ada baiknya kita benar-benar meresapi risalah Trisno
Sumardjo yang diberinya judul Kedudukan Seni Rupa Kita. Risalah yang dimuat di
dalam bundel Almanak Seni 1957 terbitan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional
itu sungguh merangsang pemikiran, terutama sekali ketika dia menamai salah satu
sub-judulnya dengan istilah kunci: Situasi Sekarang; Keragaman Gerak Hidup.
Dalam maksud demikian, jika istilah situasi sekarang boleh sepadan dengan
kontemporer, maka istilah keragaman gerak hidup tentunya sah untuk dipahami
sebagai pluralitas.
Pada sub-judul itu, Trisno Sumardjo mengawali pemikirannya
dengan fatwa agar perkembangan kreativitas serta perjuangan seni rupa tidak
hanya terbatas pada kain kanvas. Fatwa ini menjadi ancang-ancang sikapnya untuk
tidak mengutamakan satu bentuk seni rupa tertentu, sekaligus sebagai penanda
bahwa situasi seni rupa dasawarsa 1950-an bergolak demikian keras mencari
orientasi.
Dengan membangkitkan pluralitas, risalah Trisno Sumardjo
tahun 1956 itu seperti tawaran untuk menemukan kembali orientasi seni rupa
kita. Kita, demikian harapan Trisno Sumardjo di sana, sebaiknya sanggup mengisi
lapangan-lapangan baru ke arah pembangunan seni rupa selanjutnya. Dia menyebut
lapangan baru yang tidak semata kanvas itu antara lain membangkitkan karya
cukilan kayu, etsa, ex-libris, fresco, patung, relief, monumen, keramik,
arsitektur, tata kota dan sebagainya.
Memang, secara umum pada sub-judul risalah, Trisno Sumardjo
menangkis konsepsi realisme seni lukis S Sudjojono yang dianggapnya terlampau
sederhana. Realisme sendiri disangsikan tidak lagi berfungsi sebagai
terminologi, tetapi, ia menegaskan, lebih berupa genderang dan panji-panji
ideologi politik. Ia menyatakan realisme sebagai bentuk kungkungan yang
berbahaya.
Pembelaan Trisno Sumardjo tidak semata-mata ditujukan untuk
mendebat anjuran S Sudjojono pada tahun 1950 yang mengajak seniman Indonesia
kembali ke realisme. Risalah itu adalah pembelaan sewajarnya untuk membuka diri
terhadap wacana pluralitas dalam seni rupa kita.
Jika pada tahun 1954 Trisno Sumardjo mengkritik pameran
karya-karya hasil pendidikan seni rupa di ITB adalah bentuk pengabdian pada
laboratorium Barat, maka kita pahami bahwa dia memang seorang penentang seniman
yang lahir dari hasil pendidikan. Seniman, katanya, tidak mungkin diproduksi
oleh sekolah. Praktik seni abstrak dan kubistik yang memang diajarkan oleh Ries
Mulder kepada Ahmad Sadali dan kawan-kawan di Bandung dituding sebagai praktik
seni lukis yang tidak berpijak di Tanah Air. Posisi kritik itu kini menjadi
penting dilihat setidaknya untuk dijadikan refleksi awal lahirnya apa yang
nanti disebut: Mazhab Bandung.
Sebuah pemikiran lain yang jarang muncul di permukaan wacana
seni rupa kita mengenai persoalan ini adalah rumusan Ahmad Sadali pada tahun
1983 melalui artikel Ungkapan di Atas Bidang pada tahun 1983 (Katalog
Peringatan 35 Tahun Pendidikan Tinggi Seni Rupa di Indonesia). Meskipun
memiliki jeda waktu cukup panjang, rumusan ini boleh dilihat sebagai jawaban
atas cap Barat yang dilabelkan oleh Trisno Sumardjo (1954) sebelumnya. Di dalam
artikel tersebut, Ahmad Sadali merumuskan bahwa asas antropomorpho-naturrealis
semacam yang ada di Barat tidak pernah dikenal di daerah-daerah peradaban
Timur.
Bagi Ahmad Sadali asas antropomorpho-naturrealis diyakini
sebagai cara pelukisan representatif yang menganggap manusia sebagai sentral
yang puncaknya bisa kita lihat dalam kebudayaan Barat. Asas ini kemudian
menjadi dogma dalam proses kreasi seorang seniman dan pengaruhnya sampai pula
pada kebudayaan daerah di belahan dunia.
Asas ini konon mengutamakan kemahiran gambar anatomi maupun
perspektif. Dalam tradisi klasik Yunani, seniman menggambari dewa-dewi mereka
dalam wujud manusia. Lukisan-lukisan di Kepulauan Nusantara pun tidak
memperlihatkan kecenderungan "realis-naturalis", melainkan selalu
memperlihatkan abstraksi, sesuai dengan "ideal oriental".
Ahmad Sadali juga menilai perbedaan bahwa hakikat abstraksi
itu penyimpangan dari representasi "murni"; sedangkan abstrak adalah
istilah untuk menyatakan pelukisan yang sama-sekali non-representatif. Manusia
Timur memang tidak mengenal representasi dalam keseniannya kecuali simbol dan
perlambangan. Entah apa yang akan dikomentari Trisno Sumardjo kalau dia
berkesempatan membaca argumentasi Ahmad Sadali tersebut.
Sang pejuang kesenian itu dikabarkan mengalami hidup yang
getir, pahit, dan sepi. Dia tetap bersikeras bahwa seniman sepantasnya memiliki
posisi yang berharga di tengah masyarakat. Keyakinan itu didasari semangat
bahwa tugas seorang seniman bukan hanya melukis. Tidak heran, pada bulan
Agustus tahun 1950, kritikus itu menghardik: "Alangkah bodohnya pelukis
yang takut pada buku-buku tebal...."
Karya Trisno Sumárdjo
Puisi
-
Silhuet (kumpulan). Jakarta: Yayasan
UNIK 1965.
-
Kata Hati dan Perbuatan. Jakarta:
Balai Pustaka, 1952.
Cerpen
-
Katahati dan Perbuatan, kumpulan
cerpen, drama, dan sajak, Balai Pustaka, 1952.
-
Rumah Raja (kumpulan). Jakarta:
Pembangunan, 1957.
-
Daun Kering. Jakarta: Balai Pustaka,
1962.
-
Penghuni Pohon. Jakarta: Balai
Pustaka 1963.
-
Keranda Ibu. Jakarta: Balai Pustaka,
1963.
-
Wajah-wajah yang Berubah. Jakarta:
Balai Pustaka, 1968.
-
Pak Iman Intelek Istmewa.
Drama
-
Tjita Teruna. Jakarta: Balai
Pustaka, 1953
Terjemahan
-
Romeo dan Julia
(karya William Shakespeare). Jakarta: Badan Musyawarah dan Kebudayaan Nasional,
1955, Cetakan II, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1960.
Terjemahan yang Belum Diterbitkan
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar