Biografi
Syaikh Ihsan Jampes (1901 – 1952)
Syaikh
Ihsan lahir pada 1901 M. dengan nama asli Bakri, dari pasangan KH. Dahlan dan
Ny. Artimah. KH. Dahlan, ayah Syaikh Ihsan, adalah seorang kiai yang tersohor
pada masanya; dia pula yang merintis pendirian Pondok Pesantren Jampes pada
tahun 1886 M.
Tidak
banyak yang dapat diuraikan tentang nasab Syaikh Ihsan dari jalur ibu. Yang
dapat diketahui hanyalah bahwa ibu Syaikh Ihsan adalah Ny. Artimah, putri dari
KH. Sholeh Banjarmelati-Kediri. Sementara itu, dari jalur ayah, Syaikh Ihsan
adalah putra KH. Dahlan putra KH. Saleh, seorang kiai yang berasal dari Bogor
Jawa Barat, yang leluhurnya masih mempunyai keterkaitan nasab dengan Sunan
Gunung jati (Syayrif Hidayatullah) Cirebon.
Terkait
dengan nasab, yang tidak dapat diabaikan adalah nenek Syaikh Ihsan (ibu KH.
Dahlan) yang bernama Ny. Isti’anah. Selain Ny. Isti’anah ini memiliki andil
besar dalam membentuk karakter Syaikh Ihsan, pada diri Ny. Isti’anah ini pula
mengalir darah para kiai besar. Ny. Isti’anah adalah putrid dari KH. Mesir
putra K. Yahuda, seorang ulama sakti mandraguna dari Lorog Pacitan, yang jika
urutan nasabnya diteruskan akan sampai pada Panembahan Senapati, pendiri
Kerajaan Mataram pada abad ke-16. Itu dari jalur ayah. Adapun dari jalur ibu,
Ny. Isti’anah adalah cicit dari Syaikh Hasan Besari, seorang tokoh masyhur dari
Tegalsari Ponorogo yang masih keturunan Sunan Ampel Surabaya.
Pertumbuhan
dan Rihlah ‘Ilmiah
Syaikh
Ihsan kecil, atau sebut saja Bakri kecil, masih berusia 6 tahun ketika kedua
orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Setelah perceraian itu, Bakri kecil
tinggal dilingkungan pesantren bersama sang ayah, KH. Dahlan, dan diasuh oleh
neneknya, Ny. Isti’anah.
Semasa
kecil, Bakri telah memiliki kecerdasan pikiran dan terkenal memiliki daya ingat
yang kuat. Ia juga tekun membaca buku, baik yang berupa kiatab-kitab agama maupun
bidang lain, termasuk majalah dan Koran. Selain itu, satu hal yang nyeleneh adalah
kesukaannya menonton wayang. Di mana pun pertunjukan wayang digelar, Bakri
kecil akan mendatanginya; tak peduli apakah seorang dalang sudah mahir ataukah
pemula. Karena kecerdasan dan penalarannya yang kuat, ia menjadi paham benar
berbagai karakter dan cerita pewayangan. Bahkan, ia pernah menegur dan berdebat
dengan seorang dalang yang pertujukan wayangnya melenceng dari pakem.
Kebiasan
Bakri kecil yang membuat risau seluruh keluarga adalah kesukaannya berjudi.
Meski judi yang dilakukan Bakri bukan sembarang judi, dalam arti Bakri berjudi
hanya untuk membuat kapok para penjudi dan Bandar judi, tetap saja keluarganya
merasa bahwa perbuatan Bakri tersebut telah mencoreng nama baik keluarga.
Adalah Ny. Isti’anah yang merasa sangat prihatin dengan tingkah polah Bakri,
suatu hari mengajaknya berziarah ke
makam para leluhur, khususnya makam K. Yahuda di Lorog Pacitan. Di makam K.
Yahuda inilah Ny. Isti’anah mencurahkan segala rasa khawatir dan prihatinnya
atas kebandelan cucunya itu.
Konon,
beberapa hari setelah itu, Bakri kecil bermimpi didatangi oleh K. Yahuda. Dalam
mimpinya, K. Yahuda meminta Bakri untuk menghentikan kebiasaan berjudi. Akan
tetapi, Karena Bakri tetap ngeyel, K. Yahuda pun bersikap tegas. Ia
mengambil batu besar dan memukulnya ke kepala Bakri hingga hancur berantakan.
Mimpi inilah yang kemudian menyentak kesadaran Bakri; sejak saat itu ia lebih
kerap menyendiri, merenung makna keberadaannya di dunia fana.
Setelah
itu, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia keluar dari pesantren ayahnya untuk
melalalng buana mencari ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Beberapa
pesantren yang sempat disinggahi oleh Bakri diantaranya:
1.
Pesantren Bendo Pare Kediri asuhan KH. Khozin
(paman Bakri sendiri),
2.
Pondok Pesantren Jamseran Solo,
3.
Pondok Pesantren asuhan KH. Dahlan Semarang,
4.
Pondok Pesantren Mangkang Semarang,
5.
Pondok Pesantren Punduh Magelang
6.
Pondok Pesantren Gondanglegi Nganjuk,
7.
Pondok Pesantren Bangkalan Madura asuhan KH.
Kholil, sang ‘Guru Para Ulama’.
Yang
unik dari rihlah ‘ilmiah yang dilakukan Bakri adalah bahwa ia tidak
pernah menghabiskan banyak waktu di pesantren-pesantren tersebut. Misalnya,
untuk belajar Alfiah Ibnu Malik dari KH. Kholil Bangkalan, ia hanya
menghabiskan waktu dua bulan; belajar falak kepada KH. Dahlan Semarang ia hanya
tinggal di pesantrennya selama 20 hari; sedangkan di Peantren Jamseran ia hanya
tinggal selama satu bulan. Namun demikian, ia selalu berhasil menguasai dan
‘memboyong’ ilmu para gurunya tersebut dengan kemampuan di atas rata-rata.
Satu
lagi yang unik, di setiap pesantren yang ia singgahi, Bakri selalu ‘menyamar’.
Ia tidak mau dikenal sebagai ‘gus’ (sebutan anak kiai); tidak ingin diketahui
identitas aslinya sebagai putra kiai tersohor, KH. Dahlan Jampes. Bahkan,
setiap kali kedoknya terbuka sehingga santri-santri tahu bahwa ia adalah gus
dari Jampes, dengan serta merta ia akan segera pergi, ‘menghilang’ dari
pesantren tersebut untuk pindah pesantren lain.
Mengasuh
Pesantren dan Masyarakat
Pada
1926, Bakri menunaikan ibadah haji. Sepulang dari Makkah, namanya diganti
menjaid Ihsan. Dua tahun kemudian, Ihsan berduka karena sang ayah, KH. Dahlan,
dipanggil oleh Allah SWT. Semenjak itu, kepemimpinan PP Jampes dipercayakan
kepada adik KH. Dahlan, yakni KH. Kholil (nama kecilnya Muharror). Akan tetapi,
dia mengasuh Pesantren Jampes hanya selama empat tahun. Pada 1932, dengan suka
rela kepemimpinan Pesantren Jampes diserahkannya kepada Ihsan. Sejak saat
itulah Ihsan terkenal sebagai pengasuh Pesantren Jampes.
Ada
banyak perkembangan signifikan di Pesantren Jampes setelah Syaikh Ihsan
diangkat sebagai pengasuh. Secara kuantitas, misalnya, jumlah santri terus
bertambah dengan pesat dari tahun ke tahun (semula ± 150 santri menjadi ± 1000
santri) sehingga PP Jampes harus diperluas hingga memerlukan 1,5 hektar tanah.
Secara kualitas, materi pelajaran juga semakin terkonsep dan terjadwal dengan
didirikannya Madrasah Mafatihul Huda pada 1942.
Sebagai seorang
kiai, Syaikh Ihsan mengerahkan seluruh perhatian, pikiran dan segenap tenaganya
untuk ‘diabdikan’ kepada santri dan pesantren. Hari-harinya hanya dipenuhi
aktivitas spiritual dan intelektual; mengajar santri (ngaji), shalat
jama’ah, shalat malam, muthola’ah kitab, ataupun menulis kitab. Meskipun
seluruh waktunya didesikannya untuk santri, ternyata Syaikh Ihsan tidak
melupakan masyarakat umum. Syaikh Ihsan dikenal memiliki lmu hikmah dan
menguasai ketabiban. Hampir setiap hari, di sela-sela kesibukannya mengajar
santri, Syaikh Ihsan masih sempat menerima tamu dari berbagai daerah yang
meminta bantuannya.
Pada masa
revolusi fisik 1945, Syaikh Ihsan juga memiliki andil penting dalam perjuangan
bangsa. PP Jampes selalu menjadi tempat transit para pejuang dan gerilyawan
republik yang hendak menyerang Belanda; di Pesantren Jampes ini, mereka meminta
doa restu Syaikh Ihsan sebelum melanjutkan perjalanan. Bahkan, beberapa kali
Syaikh Ihsan turut mengirim santri-santrinya untuk ikut berjuang di garis
depan. Jika desa-desa di sekitar pesantren menjadi ajang pertempuran, penduduk
yang mengungsi akan memilih pp jampes sebagai lokasi teraman, sementara Syaikh
Ihsan membuka gerbang pesantrenya lebar-lebar.
Wafat dan
Warisan Syaikh Ihsan
Senin, 25
Dzul-Hijjah 1371 H. atau September 1952, Syaikh Ihsan dipanggil oleh Allah SWT,
pada usia 51 tahun. Dia meninggalkan ribuan santri, seorang istri dan delapan
putra-puteri. Tak ada warisan yang terlalu berarti dibandingkan dengan ilmu
yang telah dia tebarkan, baik ilmu yang kemudian tersimpan dalam suthur (kertas:
karya-karyanya yang ‘abadi’) maupun dalam shudur (memori: murid-muridnya).
Beberapa murid
Syaikh Ihsan yang mewarisi dan meneruskan perjuangannya dalam berdakwah melalui
pesantren adalah: (1) Kiai Soim pengasuh pesantren di Tangir Tuban; (2) KH.
Zubaidi di Mantenan Blitar; (3) KH. Mustholih di Kesugihan Cilacap; (4) KH.
Busyairi di Sampang Madura; (5) K. Hambili di Plumbon Cirebon; (6) K. Khazin di
Tegal, dan lain-lain.
Sumbangan Syaikh
Ihsan yang sangat besar adalah karya-karya yang ditinggalkannya bagi masyarakat
muslim Indonesia, bahkan umat Islam seluruh dunia. Sudah banyak pakar yang
mengakui dan mengagumi kedalaman karya-karya Syaikh Ihsan, khususnya masterpiecenya,
siraj ath-Thalibin, terutama ketika kitab tersebut diterbitkan oleh
sebuah penerbit besar di Mesir, Musthafa al-Bab- al-Halab. Sayangnya, di antara
kitab-kitab karangan Syaikh Ihsan, baru siraj ath-Thalibinlah yang mudah
didapat. Itu pun baru dapat dikonsumsi oleh masyarakat pesantren sebab belum
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Berikut
daftar karya Syaikh Ihsan Jampes yang terlacak:
1.
Tashrih al-Ibarat (syarah dari
kitab Natijat al-Miqat karya KH. Ahmad Dahlan Semarang), terbit pada
1930 setebal 48 halaman. Buku ini mengulas ilmu falak (astronomi).
2.
siraj ath-Thalibin (syarah dari
kitab Minhaj al-Abidin karya Imam al-Ghazali), terbit pada 1932 setebal
± 800 halaman. Buku ini mengulas tasawuf.
3.
Manahij al-Imdad (syarah dari
kitab Irsyad al-‘Ibad karya Syaikh Zainudin al-Malibari), terbit pada
1940 setebal ± 1088 halaman, mengulas tasawuf.
4.
Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb
al-Qahwah wa ad-Dukhan (adaptasi puitik [plus syarah] dari kitab Tadzkirah
al-Ikhwan fi Bayani al-Qahwah wa ad-Dukhan karya KH. Ahmad Dahlan
Semarang), t.t., tebal ± 50 halaman. Buku ini berbicara tentang polemik hokum
merokok dan minum kopi.
(Dihimpun dari berbagai sumber, terutama
dari buku “Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi al-Kediri” karya KH. Busyro
A. Mughni [t.p., t.t.] dan buku “Jejak Sepiritual Kiai Jampes” karya Murtadho
Hadi [Pustaka Pesantren, 2007]) [dje]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar