Oleh:
Fat Hurrahman
I.
PENDAHULUAN
Muhammad
Iqbal, penyair, pujangga dan filosof besar abad ke-20, dilahirkan di Sialkot,
Punjab, Pakistan pada 9 Nopember 1877[1].
Dalam
makalah ini, penulis mencoba mengangkat seorang pemikir, pujangga, pembaharu
Islam Iqbal yang bukan saja berpengaruh di negerinya Pakistan tapi juga di
Indonesia sendiri[2]. Disini penulis menitik beratkan pada pemikirannya di
bidang hukum Islam walaupun disinggung sedikit tentang perannya dibidang perpolitikan.
Di
dalam kehidupannya Iqbal berusaha secara serius terhadap perumusan dan
pemikiran kembali tentang Islam. Meskipun Iqbal tidak diberi umur panjang tapi
lewat tarian penanyalah yang menghempaskan bangunan unionist dan meratakan
jalan untuk berdirinya Pakistan, memang pena lebih tajam dari pada pedang. Dia
mengkritik sebab kemunduran Islam kerena kurang kreatifnya umat Islam,
konkritnya bahwa pintu Ijtihad telah ditutup. Sehingga umat Islam hanya bisa
puas dengan keadaan yang sekarang didalam kejumudan.
II.
LATAR BELAKANG
Iqbal
berasal dari keluarga miskin, dengan mendapatkan beasiswa dia mendapat
pendidikan bagus[3]. Keluarga Iqbal berasal dari keluarga Brahmana Kashmir yang
telah memluk agama Islam sejak tiga abad sebelum kelahiran Iqbal, dan menjadi
penganut agama Islam yang taat[4].
Pada
usia sekolah, Iqbal belajar Al Qur’an di surau. Disinilah Iqbal banyak hapal
ayat-ayat Al Qur’an yang selanjutnya jadi rujukan pengembangan gagasannya dalam
pembaharuan keislamannya.
Selanjutnya
di meneruskan ke Scottish Mission School, Sialkot. Disini dia bertemu guru
ternama sekaligus teman karib ayahnya, Sayid Mir Hasan. Pengaruh Mir Hasan ini
sangat kuat pada dirinya ini dibuktikannya dengan menolak pemberian gelar Sir
oleh pemerintah inggris pada tahun 1922, sebelum gurunya mendapat gelar
kehormatan pula, yaitu Syams al- ‘Ulama.
Dalam
sebuah sajaknya Iqbal mengakuinya:
Cahaya
dari keluarga Ali yang penuh berkah
Pintu
gerbangnya dibersihkan senatiasa
Bagiku
bagaikan Ka’bah
Nafasnya
menumbuhkan tunas keinginanku, penuh gairah hingga menjadi kuntum
bunga
yang merekah indah
Daya
kritis tumbuh dalam diriku oleh cahayanya yang ramah [5].
Pada
tahun 1895 Iqbal menyelesaikan pelajarannya di Scottish dan pergi ke Lahore.
Disini ia melanjutkan studi Government College gurunya adalah - Sir Thomas
Arnold[6].
Disini
dia mendapatkan dua kali medali emas karena baiknya bahasa Inggris dan Arab
karena kejeniusannya pula dia menjadi mahasiswa kesayangan Sir Thomas
Arnold[7]. Arnoldlah yang mendorongnya agar -melanjutkan pendidikannya ke
Inggris karena melihat kejeniusan Iqbal. Setelah selesai di Government College
Iqbal belajar ke Eropa pada tahun 1905. Dari sini pengembangan intelektual
Iqbal dimulai[8].
Iqbal
memilih melanjutkan di Cambridge University, Inggris, ia belajar filsafat
dengan Mc. Taggart, kemudian mengambil gelar doktor (Ph.D) di Munich, Jerman
dan lulus pada tahun1908 dengan disertasi berjudul The development of
Methapysics of Persia[9]. Didalam disertasi inilah Iqbal mengkritik tajam
ajaran tasawwuf dengan mengatakan tidak mempunyai dasar yang kukuh dan historis
dalam ajaran Islam yang murni. Iqbal melihat ada nilai-nilai baik yang
transendental yang tak dimiliki oleh Eropa. Barat, menurut Iqbal, kehilangan semangat
spritual dan terlalu menumpukan pada rasio dalam menjawab setiap
problematika.”Meskipun ia mengakui Eropa baik, tapi ia yakin Islam lebih
baik[10]. Dia kembali dari Eropa sebagai Pan-Islamis bahkan bisa dikatakan
sebagai puritan. Perubahan spritual dan ideologis Iqbal makin dalam dari
nasionalis menjadi kampiun kebangsaan Muslim dia merasa yakin bahwa antara
Hindu dan Islam harus punya negara masing-masing secara terpisah dan tindakannya
sendiri sudah jelas.
III.
KEMBALI KE PAKISTAN
Iqbal
kembali pada tahun 1908. Dia berprofesi sebagai pengacara, guru besar di
Universitas dan penyair sekaligus. Namun dia meninggalkan profesinya dan
menjadi penyair sejati[11]. Ia berpendapat bahwa kemunduran ummat Islam selama
lima ratus tahun terakhir disebabkan oleh kebekuan dalam pemikiran[12]. Di masa
Pakistan inilah bukunya banyak dihasilkan.
1.
Karya yang berbahasa Persia Asrar-i- Khindi,
Rumuz-i-Berkhudi, Payam-i-Masriq, Zaburi-i- Ajam, Jawid Namah, Pasceh Baid Aye
Aqwam-i-Syarq dan Lala-i-Thur.
2.
Yang berbahasa Urdu : Ilmu Al-Iqtisad (ilmu
ekonomi), Bang-i-Dara, Bal-i- Jibril, Zarb-i-Kalim, Arughan-i-Hijaz, Iblis ki
Majlis-i-Syura, Iqbal Namas, Makatib Iqbal, dan Bagiyat-i-Iqbal.
3.
Yang berbahasa Inggris : Develoment of
Methaphysies in Persia : A Contribution to the history of Moslem, Philoshopy
(perkembangan metafisika Persia suatu sumbangan untuk sejarah filsafat Islam)
dan the Reconstroction of Religius Thought in Islam (pengembangan kembali alam
pikiran Islam)[13].
Pergeseran
pemikiran Iqbal ini lebih memprlihatkan bentuknya dalam karyanya Pembangunan
Kembali Alam Pikiran Islam. Buku ini kumpulan dari enam ceramahnya di Madras,
Hyderabad dan Aligarh. Edisi pertama buku ini terbit di Lahore pada 1930,
berjudul Six Lecturer on the Reconsturction of Religious Thought in Islam. Pada
edisi berikutnya disederhanakan menjadi - The Reconstruction of Religious
Thought in Islam disini dia telah mencapai posisinya sebagai pemikir liberal
yang telah mencapai kematangan intelektual. Dia mengecam terhadap filsafat
Yunani, terutama Plato, sebagai penyebab mundurnya ummat Islam[14].
IV.
PEMIKIRAN IQBAL TENTANG SUMBER HUKUM ISLAM
A.
AL-QUR’AN
Sebagai
seorang Islam yang di didik dengan cara kesufian[15], Iqbal percaya kalau
al-Qur’an itu memang benar diturunkan oleh Allah kepada - Nabi Muhammad dengan
perantara Malaikat Jibril dengan sebenar-benar percaya, kedudukannya adalah
sebagai sumber hukum yang utama dengan pernyataannya “The Qur’an is a book
which emphazhise ‘deed’ rather than ‘idea’ “ (al Qur’an adalah kitab yang lebih
mengutamakan amal daripada cita-cita)[16]. Namun demikian dia menyatakan bahwa
bukanlah al - Qur’an itu suatu undang-undang. Dia dapat berkembang sesuai
dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan sebenarnya
al Qur’an adalah - membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam
hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Qaur’an tidak memuatnya secara
detail maka manusialah dituntut pengembangannya.Ini didalam rumusan fiqh
dikembangkan dalam prinsip ijtihad, oleh iqbal disebut prinsip gerak dalam struktur
Islam. Disamping itu al – Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses
cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun al – Qur’an tidak
melarang untuk mempertimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat
juga harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. “ Akibat pemahaman yang
kaku terhadap pendapat ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju,
hukum tetap berjalan di tempatnya”.[17]
Akan
tetapi, kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam
memahami al Qur’an, namun dia melihat ada dimensi-dimensi didalam al Qur’an
yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus
dikonservasikan, sebab ketentuan itu berlaku konstan. Menurutnya para mullah
dan sufi telah membawa umat Islam jauh dari maksud al Qur’an sebenarnya.
Pendekatan mereka tentang hidup menjadi negatif dan fatalis. Iqbal mengeluh
ketidakmampuan umat Islam India dalam mamahami - al -Qur’an disebabkan
ketidakmampuan terhadap memahami bahasa Arab dan telah salah impor ide-ide
India ( Hindu ) dan Yunani ke dalam Islam dan - al-Qur’an. Dia begitu terobsesi
untuk menyadarkan umat islam untuk lebih progresif dan dinamis dari keadaan statis
dan stagnan dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan pengalaman,
agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun umat manusia menjalani kehidupan.
Kegagalan Yahudi disebabkan terlalu mementingkan segi-segi legalita dan
kehidupan duniawi. Sedangkan Kristen gagal dalam memberikan nilai-nilai kepada
pemeliharaan negara, undang-undang dan organisasi, karena lebih mementingkan
segi-segi ritual dan spritual saja. Dalam kegagalan kedua agama tersebut
al-Qur’an berada ditengah-tengah dan sama-sama mementingkan kehidupan
individual dan sosial ;ritual dan moral. Al-Qur’an mengajarkan keseimbangan
kedua sisi kehidupan tersebut, tanpa membeda-bedakannya. Baginya antara politik
pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama sekali, inilah yang dikembangkannya
dalam merumuskan ide berdirinya negara Pakistan yang memisahkan diri dari India
yang mayoritas Hindu.
Pandangan
Iqbal tentang kehidupan yang equilbirium antara moral dan agama ; etik dan
politik ; ritual dan duniawi, sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam pemikiran
Islam. Namun, dalam perjalanan sejarah, pemikiran demikian terkubur bersama
arus kehidupan politik umat Islam yang semakin memburuk, terutama sejak
keruntuhan dan kehancuran Bagdad, 1258. sehingga masyarakat Islam tidak mampu
lagi menangkap visi dinamis dalam doktrin Islam - (al-Qur’an).
Akhirnya
walaupun tidak ditegaskan kedalam konsep oleh para mullah lahirlah pandangan
pemisahan antara kehidupan dunia dan agama yang menyeret umat untuk
meninggalkan kehidupan duniawi, akibatnya, hukum pun menjadi statis dan
al-Qur’an tidak mampu di jadikan sebagai referensi utama dalam hal menjawab
setiap problematika.
Inilah
yang terjadi dalam lingkungan sosial politik umat Islam. Oleh sebab itu, Iqbal
ingin menggerakkan umat Islam untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup
dan menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al - Qur’an.
Nilai-nilai dasar ajaran al – Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara
serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah
dengan mengadakan pendekatan rasional al – Qur’an dan mendalami semangat yang
terkandung didalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku Undang-undang yang
berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati dan kaku.
Akan
tetapi, kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam
memahami al – Qur’an, namun ia melihat ada dimensi-dimensi didalam al – Qur’an
yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus di
konservasikan ( pertahankan), sebab ketentuan itu berlaku konstan[18].
B.
AL-HADIST
Sejak
dulu hadist memang selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Baik umat
Islam maupun kalangan orientalis. Tentu saja maksud dan titik berangkat dari
kajian tersebut berbeda pula. Umat Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab
yang begitu besar terhadap ajaran Islam. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya
untuk kepentingan ilmiah. Bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran
Islam itu lewat ajaran Islam itu sendiri.
Kalangan
orientalis yang pertama kali melakukan studi tentang hadist adalah Ignaz
Goldziher. Menurutnya sejak masa awal Islam dam masa-masa berikutnya ,
mengalami proses evolusi, mulai dari sahabat dan seterusnya hingga menjadi
berkembang di mazhab-mazhab fiqih. Iqbal menyimpulkan bahwa dia tidak percaya
pada seluruh hadist koleksi para ahli hadist[19].
Iqbal
setuju dengan pendapat Syah Waliyullah tentang hadist, yaitu cara Nabi dalam
menyampaikan Da’wah Islamiyah adalah memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan
keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat
memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya Nabi
lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat
manusia, tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut
khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya,
pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal
menganggap wajar saja kalau Abu hanifah lebih banyak mempergunakan konsep
istihsan dari pada hadist yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti
hadist-hadist pada zamannya belum dikumpulkan, karena Abdul Malik dan Al Zuhri
telah membuat koleksi hadist tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap
ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadist
daripada koleksi belaka.
Oleh
karenanya, Iqbal memandang perlu umat Islam melakukan studi mendalam terhadap
literatur hadist dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang
yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyu-Nya. Hal ini sangat besar
faedahnya dalam memahami nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam
sebagaimana yang dikemukakan al – Qur’an.
Pandangan
Iqbal tentang pembedaan hadist hukum dan hadist bukan hukum agaknya sejalan
dengan pemikiran ahli ushul yang mengatakan bahwa hadist adalah penuturan,
perbuatan dan ketetapan Nabi saw.yang berkaitan dengan hukum; seperti mengenai
kebiasaan-kebiasaan Nabi yang bersifat khusus untuknya, tidak wajib diikuti dan
diamalkan.
C.
IJTIHAD
Katanya
“exert with a view to form an independent judgement on legal question”,
(barsungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab
permasalahan hukum). Kalau dipandang baik hadist maupun al-Qur’an mamang ada
rekomendasi tentang ijtihad tersebut, disamping ijtihad pribadi, hukum Islam
juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang
selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh para ahli hukum Islam
dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul, sehingga
melahirkan aneka ragam pendapat (mazdhab), Sebagaimana pandangan mayoritas
ulama, Iqbal membagi kualifikasi ijtihad kedalam tiga tingkatan, yaitu :
1.
Otoritas penuh dalam menentukan
perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri
madzhab-madzhab saja.
2.
Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam
batas-batas tertentu dari satu madzhab.
3.
Otoritas Khusus yang berhubungan dengan
penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan
pendiri madzdab.
Namun
Iqbal lebih memberi perhatian pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal,
kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl- al-
sunnah, tetapi dalam kenyataannya telah dipungkiri sendiri sejak berdirinya madzhab-madzhab.
Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkin
dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam satu sistem hukum
al Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis.
Akibat
ketatnya ketentuan ijtihad ini, akhirnya hukum Islam selama lima ratus tahun
mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang. Ijtihad yang menjadi konsep
dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi
dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma’ hanya menjadi
mimpi untuk mengumpulkan para ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja ulama
yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma’ tersebut, hal ini dikarenakan
kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal
teori saja, konskuensinya, hukum Islam pun statis tak berkembang selama
beberapa abad. Iqbal mendeteksi penyebab kemunduran Islam itu ada tiga faktor :
1.
Gerakan rasionalisme yang liar, dituduh sebagai
penyebab disintegarasi umat Islam dengan melempar isu keabadian al -
Qur’an[20].Oleh karena itu, kaum konservatif hanya memilih tempat yang aman
dengan bertaklid kepada imam-imam mazhab. Dan sebagai alat yang ampuh untuk
membuat umat tunduk dan diam[21]. Disamping itu, perkembangan ini melahirkan
fenomena baru, yaitu lahirnya kecendrungan menghindari duniawi dan mementingkan
akhirat dan menjadi apatis. Akhirnya Islam menjadi lemah tak berdaya.
2.
Setelah Islam menjadi lemah penderitaan terus
berlanjut pada tahun 1258 H kota pusat peradaban Islam diserang dan diporak-porandakan
tentara mongol pimpinan Hulagu Khan.
3.
Sejak itulah lalu timbul disintegrasi. Karena
takut disintegrasi itu akan menguak lebih jauh, lalu kaum konsrvatif Islam
memusatkan usaha untuk menyeragamkan pola kehidupan sosial dengan mengeluarkan
bid’ah-bid’ah dam menutup pintu ijtihad. Ironisnya ini semakin memperparah
keadaan dalam dunia Islam.
Bagi
Iqbal untuk membuang kekakuan ini hanya dengan jalan menggalakkan kembali
ijtihad-ijma’ dan merumuskannya sesuai dengan kebutuhan zaman modern saat sekarang.
Namun demikian, rumusan ijtihad juga harus tetap mengacu kepada kepentingan
masyarakat dan kemjuan umum. Bukan berdasarkan pemikiran-pemikiran spekulatif
subjektif yang bertentangan dengan semangat dan nilai dasar hukum Islam.
Oleh
karenanya Iqbal memandang perlu mengalihkan kekuasaan ijtihad secara pribadi
menjadi ijtihad kolektif atau ijma’. Pada zaman modern, menurut Iqbal,
peralihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili madzhab tertentu kepada
lembaga legislatif Islam adalah satu-satunya bentuk paling tepat bagi ijma’.
Hanya cara inilah yang dapat menggerakkan spirit dalam sistem hukum Islam yang
selama ini telah hilang dari dalam tubuh umat Islam[22].
V.
ANALISIS
Dari
pemikiran-pemikiran Iqbal diatas tadi, sudah saatnya kita bergerak dan tidak terpaku
dengan keadaan sekarang didalam kejumudan. Kita ingin umat Islam untuk kreatif
dan dinamis dalam menghadapi hidup dan menciptakan perubahan-perubahan dibawah
tuntunan ajaran al - Qur’an. Nilai-nilai dasar ajaran al – Qur’an harus dapat
dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan
perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional al –
Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung didalamnya, bukan menjadikannya
sebagai buku Undang-undang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati
dan kaku.
Dan
jangan sampai kebebasan yang ada disalah gunakan untuk kepentingan sendiri dan
golongan dengan mengatas namakan hukum agama. Kita sekarang memang sedang
krisis ketauladanan. Yang ada hanya pembodohan umat dimana-mana. Hukum dibuat
bagai mainan. Bahkan yang lebih parah lagi kalau sudah seorang ulama memperalat
masyarakat Islam hanya untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga.
VI.
PENUTUP
Muhammad
Iqbal merupakan sosok pemikir multi disiplin. Di dalam dirinya berhimpun
kualitas kaliber internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan, ahli
hukum, pendidik, filosof dan mujtahid. Sebagai pemikir Muslim dalam arti yang
sesungguhnya, Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam secara
liberal dan radikal.
Islam
sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan manusia, ditantang untuk
bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak dan perubahan tersebut agar sesuai
dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu hukum Islam dihadapkan kepada masalah
signifikan, yaitu sanggupkah hukum Islam memberi jawaban yang cermat dan akurat
dalam mengantisipasi gerak dan perubahan ini?. Dengan tepat Iqbal menjawab,
“bisa, kalau umat Islam memahami hukum Islam seperti cara berfikir ‘Umar Ibn Al
Khathtab”.
Catatan.
[1] Muhammad Iqbal. Drs., “Rekonstruksi Pemikran Islam”,
Kalam Mulia, 1994, hal. 1
[2] Ibid, hal. 126
[3] Ali. H. M., “ Alam Pemikiran Islam di India dan
Paskistan”, Mizan, Bandung 1993. hal. 173
[4] Muhammad Iqbal. Drs, op.cit, hal. 44
[5] Ibid., hal. 46
[6] Loc. Cit
[7] H.M Mukti Ali, Op. Cit., hal. 174
[8] Muhammad Iqbal. Drs, Op.cit,, hal. 47
[9] Ihsan Ali Fauzi dan Nurul Agustina, Op. Cit., hal. 143
[10] Muhammad Iqbal. Drs., Op., Cit., hal. 49
[11] Muhammad Iqbal. Drs, op.cit,, hal. 51
[12] Harun Nasution, “Pembaharuan dalam Islam”, Bulan
bintang, Jakarta, 1987, Cet. Ke-05 hal. 191
[13] Departemen Pendidikan Nasional.,”Ensiklopedi
Islam”,PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002
[14] Muhammad Iqbal. Drs, Op., cit,, hal. 59
[15] Ibid., hal. 44
[16] Ibid., hal. 67
[17] Muhammad Iqbal. Drs, Op., cit,, hal. 68 – 69
[18] Ibid., hal. 69 – 73
[19] Ibid., hal. 74 – 75
[20] Ibid., hal. 76-84
[21] Harun Nasution, Op. cit hal. 191
[22] Muhammad Iqbal. Drs, Op., cit,, hal.84 – 92
Referensi:
-
http://udhiexz.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar