Nama lengkapnya adalah Badruddin
Muhammad bin Ibrahim bin Sa’ad Allah bin Jama’ah bin Hazim bin Shakhr bin
Abdullah Al-Kinay. Lahir di Hamwa, Mesir, pada tanggal 04 Rabi’ul Akhir 639
H/1241 M malam sabtu, dan wafat pada pertengahan malam akhir hari senin tanggal
21 Jumadil Ula 733 H/1333 M. dan dimakamkan di Qirafah, Mesir. Usianya 64
tahun, 1 bulan, 1 hari.
Konsep Pendidikan
Pendidikan awalnya didapat dari ayahnya
sendiri yaitu Ibrahim bin Sa’ad Allah bin Jama’ah, seorang ulama besar ahli
fiqh dan sufi. Selain berguru kepada ayahnya, Ibnu Jama;ah juga berguru kepada
sejumlah ulama besar. Ketika di Hammah ia berguru kepada Syaikh Asy-Syuyukh bin
Izzun, dan ketika di Damaskus ia berguru kepada Abi Al-Yasr, Ibnu ‘Ilaq
Ad-Dimasyqi, dll, ketika di Kairo ia berguru kepada Taqiyuddin bin Razim,
Jamaluddin bin Malik, Rasyid Al-Athar, dan lain-lain.
Berkat didikan dan pengembaraan dalam
menuntut ilmu tersebut, Ibnu Jama;ah kemudian menjadi seorang yang ahli hukum,
pendidikan, juru da’wah, penyair, ahli tafsir, ahli hadits, dan lain-lain. Akan
tetapi beliau lebih dikenal sebagai orang yang ahli hukum, yakni sebagai hakim.
Pada masa Ibnu Jama’ah, kondisi
struktur sosial keagamaan sedang memasuki masa-masa penurunan. Baghdad sebagai
simbol peradaban Islam sudah hancur yang kemudian berakibat pada pelarangan
terhadap kajian-kajian filsafat dan kalam, bahkan terhadap ilmu non-agama.
Pelarangan ini didukung oleh sebagian ulama dan mendapat pengakuan dari
penguasa. Dengan demikian Ibnu Jama’ah dibesarkan dalam tradisi sunni yang
kontra dengan rasionalis serta kurang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan
non-agama.
Pada masa Ibnu Jama’ah muncul berbagai
lembaga pendidikan, diantaranya adalah : (1) Kuttab, yaitu lembaga pendidikan
dasar yang digunakan untuk memberikan kemampuan membaca dan menulis. (2)
Pendidikan Istana, yaitu lembaga pendidikan yang dikhususkan untuk anak-anak
pejabat dan keluarga istana. (3) Kedai atau Toko Kitab, yang fungsinya sebagai
tempat untuk menjual kitab srta tempat berdiskusi antara para pelajar. (4)
Rumah Para Ulama, yaitutempat yang sengaja disediakan oleh para Ulama untuk
mendidik para siswa. (5) Rumah Sakit, selain dikembangkan untuk kepentingan
medis, juga untuk mendidik tenaga-tenaga yang akan bertugas sebagai perawat.
(6) Perpustakaan, selain berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan buku-buku,
juga dipakai untuk diskusi dan penelitian, perpustakaan yang cukup besar adalah
Daar Al-Hikmah. (7) Masjid, selain tempat untuk beribadah, juga digunakan untuk
kegiatan pandidikan dan sosial. Selain itu juga berkembang madrasah-madrasah,
madrasah yang pertama kali didirikan adalah Madrasah Nidzam Al-Muluk didirikan
oleh Wazir Nidzamiyyah pada tahun 1064 M.
Karya Tulis Ibnu Jama’ah
Karya-karya Ibnu Jama’ah pada garis
besarnya terbagi pada masalah pendidikan, astronomi, ulumul hadits, ulumut
tafsir, ilmu fiqih, dan ushul fiqih. Kitab Tadzkirat as-Sami’ wa al-Mutakallim
fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim merupakan kitab yang berisi tentang konsep
pendidikan, samantara itu kitab Usthurullah merupakan kitab yang membicarakan
masalah astronomi, sedangkan kitab al-Munhil al-Rawiy fi ‘Ulum Hadits Nabawy
merupakan ringkasan dari kitab ulumul hadits yang ditulis oleh Ibnu As-Sholah.
Selain kitab-kitab diatas masih banyak
kitab-kitab yang beliau tulis, diantaranya adalah, Idlah ad-Dalil fi Qath’I
Hujaj ahl-Ta’wil, at-Tibyan li Mubhimat Al-Qur’an, Tajnid al-Ajnad wa Jihat
al-Jihad, dan lain-lain.
Konsep Pendidikan Ibnu Jama’ah
Konsep pendidikan yang dikemukakan Ibnu
Jama’ah secara keseluruhan dituangkan dalam karyanya Tadzkirat as-Sami’ wa
al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim. Dalam buku tersebut beliau
mengemukakan tentang keutamaan ilmu pengetahuan dan orang yang mencarinya.
Keseluruhan konsep pendidikan Ibnu Jama’ah ini dapat dikamukakan sebagai
berikut :
1.
Konsep Guru / Ulama
Menurut Ibnu Jama’ah ulama sebagai
mikro cosmos manusia dan secara umum dapat dijadikan sebagai tipologi makhluk
terbaik (khairul Bariyyah). Beliau menawarkan sejumlah kriteria yang harus
dimiliki oleh seseorang yang akan menjadi guru. Pertama, menjaga akhlaq. Kedua,
tidak menjaikan profesi guru sebagai usaha untuk menutupi kebutuhan ekonominya.
Ketiga, mengetahui situasi sosial kemasyarakatan. Keempat, kasih sayang dan
sabar. Kelima, adil dalam memperlakukan peserta didik. Keenam, menolong dengan
kemampuan yang dimilikinya.
Dari keenam kriteria tersebut, yang
menarik adalah tentang tidak bolehnya profesi guru dijadikan sebagai usaha
mendapatan keuntungan material. Ibnu Jama’ah berpendapat demikian sebagai
konsekuensi logis dari konsepsinya tentang pengetahuan. Bagi beliau ilmu sangat
agung lagi luhur, bahkan bagi pendidik menjadi kewajiban tersendiri untuk
mengagungkan pengetahuan tersebut, sehingga pendidik tidak menjadikan
pengetahuannya itu sebagai lahan komoditasnya, dan jika hal itu dilakukannya
berarti telah merendahkan keagungan pengetahuan (ilmu).
2.
Peserta Didik.
Menurut Ibnu Jama’ah, peserta didik
yang baik adalah mereka yang mempunyai kemampuan dan kecerdasan untuk memilih,
memutuskan, dan mengusahakan tindakan-tindakan belajar secara mandiri.
Selain itu Ibnu Jama’ah tampak sangat
menekankan tantang pentingnya peserta didik mematuhi perintah pendidik, ia
berpendapat bahwa pendidik meskipun salah ia harus tetap dipatuhi, peserta
didik juga tidak dibenarkan untuk mempunyai gagasan yang tidak sejalan dengan
pendidik.
Pemikiran Ibnu Jama’ah tentang peserta
didik ini nampak kurang demokratis, namun pandangan ini tampak didasarkan pada
sikapnya yang konsisten dalam memandang guru atau ulama sebagai orang yang
memiliki kapasitas keilmuan yang patut di prioritaskan daripada peserta didik.
Namun demikian beliau sangat mendorong para siswa untuk mengembangkan kemampuan
akalnya, yaitu agar tekun dan betul-betul giat dalam mengasah kecerdasan
akalnya, serta menyediakan waktu tertentu untuk pengembangan daya
intelektualnya.
3.
Materi Pelajaran /
Kurikulum
Materi pelajaran yang dikemukakan oleh
Ibnu Jama’ah terkait dengan tujuan belajar, yaitu semata-mata menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Allah, dan tidak untuk mencari kepentingan dunia atau materi.
Tujuan semacam inilah yang merupakan esensi dari tujuan pendidikan Islam yang
sesungguhnya.
Materi pelajaran yang diajarkan harus
dikaitkan dengan etika dan nilai-nilai spiritualitas. Dengan demikian, ruang
lingkup epistimologi persoalan yang dikaji oleh peserta didik semakin luas,
yaitu meliputi epistimologi kajian keagamaan, dan epistimologi di luar wilayah
keagamaan (sekuler). Namun demikian kajian sekuler tersebut harus mengacu
kepada tata nilai religi.
Apabila dibedakan berdasarkan muatan
materi dari kurikulum yang dikembangkan Ibnu Jama’ah ada dua hal yang dapat
dipertimbangkan. (1) Kurikulum dasar yang menjadi acuan dan paradigma
pengembangan disiplin lainnya (kurikulum agama dan kebahasaan). (2) Kurikulum
pengembangan yang berkenaan dengan materi non-agama, tetapi tinjauan yng
dipakai adalah kurikulum pertama. Dengan demikian kurikulum yang pertama ini
dapat memberikan corak bagi kurikulum kedua yang bersifat pengembangan.
Selanjutnya Ibnu Jama’ah
memprioritaskan kurikulum Al-Qur’an daripada yang lainnya. Hal ini sejalan
dengan pendapat Muhammad Fadhil al-Jamali yang mengatakan bahwa Al-Qur’an
adalah kitab terbesar yang menjadi sumber filasafat pendidikan dan pengajaran
bagi umat Islam serta Al-Hadits untuk melengkapinya.
4.
Metode Pembelajaran
Konsep Ibnu Jama’ah tentang metode
pembelajaran banyak ditekankan pada hafalan ketimbang dengan metode lain.
Metode hafalan memang kurang memberikan kesempatan pada akal untuk
mendayagunakan secara maksimal proses berfikir, akan tetapi, hafalan
sesungguhnya menantang kemampuan akal untuk selalu aktif dan konsentrasi dengan
pengetahuan yang didapat.
Selain metode ini, beliau juga
menekankan tentang pentingnya menciptakan kondisi yang mendorong kreativitas
para siswa, menurut beliau kegiatan belajar tidak digantungkan sepenuhnya
kepada pendidik, untuk itu perlu diciptakan peluang-peluang yang memungkinkan
dapat mengembangkan daya kreasi dan daya intelek peserta didik.
5.
Lingkungan Pendidikan
Para ahli pendidikan sosial umumnya
berpendapat bahwa perbaikan lingkungan merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan
tujuan-tujuan pendidikan.
Sejalan dengan hal diatas Ibnu Jama’ah
memberikan perhatian yang besar terhadap lingkungan. Menurutnya bahwa
lingkungan yang baik adalah lingkungan yang didalamnya mengandung pergaulan
yang menjunjung tinggi nilai-nilai etis. Pergaulan yang ada bukanlah pergaulan
bebas, tetapi pergaulan yang ada batas-batasnya.
Lingkungan memiliki peranan dalam
pembentukan keberhasilan pendidikan. Keduanya menginginkan adanya lingkungan
yang kondusif untuk kegiatan belajar mengajar, yaitu kondisi lingkungan yang
mencerminkan nuansa etis dan agamis.
Referensi:
-
Azis’s blog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar