RUMAH KELUARGA BAHAGIA

Selasa, 14 Februari 2017

Biografi HAJI AGUS HALIM


Biografi HAJI AGUS HALIM

Beliau adalah putra kelima dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Beliau juga terkenal sebagai multi-languages, orang yang menguasai lebih dari dua bahasa. Beliau menguasai tujuh bahasa asing yaitu Inggris, Jerman, Prancis, Belanda, Turki, Jepang dan Arab. Beliau adalah manusia yang serba bisa, beliau juga penerjemah, ahli sejarah, wartawan, sastrawan, diplomat praktisi pendidikan, filsuf dan ulama. Beliau adalah tokoh kosmopolitan yang tidak hanya berkiprah domestik saja seperti HOS Tjokroaminoto tetapi sudah mendunia. Beliau juga dikenal kalangan cendikiawan diluar negeri sebagai seorang jenius dalam bidang bahasa yang mampu menulis dan berbicara dalam banyak bahasa asing. Tetapi tidak ada gading yang tak retak, Prof. Schermerhorn menulis dalam catatan hariannya tanggal 14 Oktober 1946 bahwa hanya satu kelemahan Agus Salim, yaitu selama hidupnya selalu melarat dan miskin.
Ketika beliau berusia 6 tahun, ayahnya menjadi jaksa tinggi pada pengadilan untuk daerah Riau dan sekitarnya. Beliau diterima pada sekolah dasar Belanda ELS (Europeese Lager School).  Pada tahun 1898 setelah lulus dari ELS, beliau dikirim ke Batavia untuk belajar di HBS (Hogere Burger School). Pada tahun 1903, beliau lulus dengan angka tertinggi tidak saja di sekolahnya, tetapi juga untuk sekolah HBS lain seperti Bandung dan Surabaya. Sejak itu nama beliau menjadi terkenal di seantero Hindia Belanda di kalangan kaum kolonial dan terpelajar. Beliau kemudian mengajukan permohonan beasiswa untuk belajar kedokteran di negeri Belanda. Sayangnya permohonan ini ditolak. Para gurunya mengusahakan agar beliau mendapat beasiswa di STOVIA (School tot Opleiding van Inlansche), namun hal ini juga gagal.
Kemudian tahun 1905, Snouck Hurgronye mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar bereksperimen dengan menempatkan tenaga pribumi pada perwakilan Belanda di luar negeri. Beliau mendapat tawaran bekerja pada konsulat Belanda di Jeddah sebagai penerjemah dan mengurus urusan haji. Selama Di Jeddah, beliau memperoleh kesempatan untuk memperdalam agama Islam dan bahasa Arab kepada para ulama yang bermukin di Mekkah. Beliau juga belajar agama Islam pada saudara sepupunya, Sheikh Ahmad Khatib yang telah bermukim disana.
Selama kurang lebih enam tahun beliau berada di Arab Saudi. Akhirnya pada tahun 1911, beliau pulang ke Indonesia. Kepulangannya dari Tanah Suci ini boleh dikatakan sebagai titik tolak perjuangannya melawan Belanda. Beliau sempat bekerja pada dinas pekerjaan umum. Namun, ia keluar dari birokrasi Belanda dan mendirikan sekolah swasta di kampungnya di Kota Gadang. Hal ini tidak lama dikerjakannya. Beliau kemudian berangkat lagi ke Jakarta dan selanjutnya terjun ke dunia politik melalui Syarikat Islam (menjadi ketua bersama dengan HOS Tjokroaminoto) dan menjadi Ketua Partai Serikat Islam Indonesia. Beliau juga mencoba berbagai pekerjaan selama di Jakarta baik di organisasi politik maupun di pemerintahan. Beliau beberapa kali menjadi pengelola surat kabar dan sangat produktif menulis baik tajuk rencana maupun artikel lainnya.
Pada tahun 1915, beliau menjadi Redaktur II di Harian Neratja dan tidak lama kemudian menjadi pemimpin redaksi. Beliau pernah menjadi pemimpin redaksi pada Harian Hindia Baroe, Surat Kabar Fadjar Asia, Harian Moestika dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).  Dalam harian Neratja, 25 September 1917, beliau menulis "dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang". Pada tahun 1925, beliau membentuk Jong Islamieten Bond, tempat berkumpulnya anak-anak muda Muslim yang kemudian setelah proklamasi tergabung dalam Partai Masyumi, suatu partai moralis pembela demokrasi.
Beliau bukan saja sosok yang sangat menghargai demokrasi tetapi beliau juga sangat menghargai hukum hal ini terlihat dalam tulisannya pada harian Fadjar Asia tanggal 29 November 1927, Agus Salim menulis tentang “Polisi dan Rakyat" : “sikap polisi terhadap rakyat, istimewa keganasan dan kebuasan polisi dalam memeriksa orang yang kena dakwa atau yang hanya kena sangka-sangka rupanya belum berubah-buah. Hampir tiap hari ada pesakitan di depan landraad yang mencabut “pengakuan" di depan polisi yang lahir bukan karena betul kejadian melainkan hanya karena kekerasan siksa".
Beliau menaruh perhatian khusus terhadap para hakim. “Jika negeri hendak selamat, haruslah pengadilan berderajat tinggi dalam anggapan orang ramai di negeri ini. Dan hakim-hakim, istimewa yang mengepalai majelis pengadilan wajiblah selalu menunjukkan sikap kebesaran yang anggun, disertai kesabaran, keramahan dan kemurahan, yang menunjukkan ia menjaga jalannya hukum dengan sungguh-sungguh, dengan memakai timbangan yang jernih, yang sekali-sekali tidak boleh kecampuran pengaruh cinta dan benci, yang kira-kira boleh memincangkan teraju timbangannya" (Fadjar Asia, 26 Juni 1928). Meskipun beliau mahir berbahasa asing, beliau justru menunjukan kecintaannya terhadap bahasa Indonesia dengan berpidato dalam bahasa Indonesia pada sidang Dewan Rakyat (Volksraad) sehingga menggegerkan Belanda. Beliau adalah orang Indonesia pertama yang berpidato dengan bahasa Indonesia pada Dewan Rakyat ini. Karena apa yang telah diputuskan oleh lembaga ini tidak diindahkan oleh pemerintah Hindia Belanda, beliau keluar dari dewan tersebut tahun 1923. Beliau menamakan Volksraad sebagai “komedi omong kosong".
Semasa penjajahan Belanda, beliau tidak pernah ditangkap Belanda. Baru setelah Indonesia merdeka beliau beberapa kali diasingkan bersama dengan pemimpin nasional lainnya. Salah satu sebab adalah karena kepandaiannya dalam berdiplomasi. Beliau sangat pandai dalam menyampaikan kritik tajam dan peda kedalam bentuk yang halus dan cerdas.
Pada masa penjajahan Jepang beliau ikut aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan karena kemampuan bahasa dari beliau, maka beliau diminta menjadi anggota Panitia Sembilan yang berperan besar dalam perumusan Pembukaan Undang - Undang Dasar (UUD) 1945, yang semula berjudul Piagam Jakarta.

Setelah Indonesia merdeka, beliau beberapa kali menduduki posisi menteri muda yaitu Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Syahrir II pada tahun 1946 dan Kabinet III pada tahun 1947. Beliau juga kemudian menjadi menteri luar negeri yaitu Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin pada tahun 1947, Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta pada 1948 - 1949. Pengakuan negara-negara Arab atas kemerdekaan Indonesia tahun 1947 dapat dianggap sebagai jasa beliau setelah sebelumnya, sempat selama tiga bulan beliau mengembara di Timur Tengah dengan kondisi keuangan yang sangat terbatas sebagai utusan negara yang baru merdeka. Beliau juga pernah mengetuai delegasi Indonesia dalam Inter Asian Relation Conference di India.
Pada tahun 1952, beliau menjabat sebagai Ketua pertama dari Dewan Pers Indonesia. Pengetahuannya yang luas mengenai Islam menyebabkan Agus Salim menjadi dosen tamu di Universitas Cornell dan Princenton University, Amerika Serikat. Kemampuan bahasa dan keluasan ilmu pengetahuan menyebabkan beliau menguasai suatu diskusi atau percakapan. Prof George Kahin menuturkan bahwa suatu hari ia mengundang beliau dan Ngo Dinh Diem makan di ruang dosen Cornell University. Beliau waktu itu sebagai pembicara tamu di Cornel University tersebut sedangkan Ngo Dinh Diem, juga pandai berpidato dan berdebat, saat itu sedang mengumpulkan dukungan bagi Vietnam Selatan. Kahin terperangah karena kedua tokoh itu ternyata sudah asyik berdebat dalam bahasa Perancis. Ternyata beliau dapat membuat Ngo Dinh Diem menjadi pendengar saja.
Ketika mengajar di Cornell University , beliau tidak melupakan kebiasaan mengisap rokok kretek, sehingga para muridnya menjadi tidak asing lagi dengan bau rokok kretek yang eksotik itu. Seperti kebanyakan orang Minangkabau, beliau tidak pernah rendah diri dalam berhadapan tokoh asing. Ketika mewakili Presiden Soekarno menghadiri upacara penobatan Ratu Inggris Elisabeth tahun 1953, beliau kesal dengan suami ratu yaitu Pangeran Philip yang kurang perhatian terhadap tamu asing yang datang dari negeri-negeri yang jauh. Beliau menghampiri dan mengayun-ayunkan rokok kreteknya di sekitar hidung sang pangeran. "Apakah Paduka mengenali aroma rokok ini? " Dengan ragu-ragu menghirup rokok itu, sang pangeran mengakui tidak mengenal aroma tersebut. Beliau pun dengan tersenyum berujar “Itulah sebabnya 300 atau 400 tahun yang lalu bangsa Paduka mengarungi lautan mendatangi negeri saya". Maka suasana pun menjadi mencair, sang pangeran mulai ramah meladeni tamunya.
Mohamad Roem pun mengakui kelebihannya, “Jarang ada  yang mau menghadapi  Agus  Salim dalam berdebat. Beliau ahli berkelit, bernegosisi, dan lidahnya  amat tajam kala mengecam,” jelas Mohamad Roem, rekan  Agus  Salim semasa aktif di Jong Islamieten Bond.
Beliau diangkat sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI No. 657 Tahun 1961 tanggal 27 Desember 1961. Beliau juga mendapat tiga tanda jasa anumerta, yaitu: Bintang Mahaputera Tingkat I (1960), Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan (1961), dan Pahlawan Kemerdekaan Nasional (1961). Beliau meninggal pada tanggal 4 November 1954.


Karir dalam Pemerintahan
-        Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Pada Kabinet AMIR SYARIFUDDIN I, Periode  1947 – 1947
-        Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Pada Kabinet AMIR SYARIFUDDIN II, Periode  1947 – 1948
-        Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Pada Kabinet MOHAMMAD HATTA I, Periode  1948 – 1949
-        Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Pada Kabinet MOHAMMAD HATTA II, Periode  1949 – 1949
-        MASA JABATAN   : 03 Juli 1947 – 04 Agustus 1949 & 04 Agustus 1949 – 20 Desember 1949

TEMPAT, TANGGAL LAHIR : Koto Gadang, Bukittinggi 8 Oktober 1884

Sumber:
-        Mochtar, Kustiniyati, Seratus Tahun Haji Agus Salim, 1984, Penerbit Sinar Harapan
-        Ensiklopedi Tokoh Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar