Biografi
HAJI AGUS HALIM
Beliau adalah putra kelima dari
pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Beliau juga terkenal
sebagai multi-languages, orang yang menguasai lebih dari dua bahasa. Beliau
menguasai tujuh bahasa asing yaitu Inggris, Jerman, Prancis, Belanda, Turki,
Jepang dan Arab. Beliau adalah manusia yang serba bisa, beliau juga penerjemah,
ahli sejarah, wartawan, sastrawan, diplomat praktisi pendidikan, filsuf dan
ulama. Beliau adalah tokoh kosmopolitan yang tidak hanya berkiprah domestik
saja seperti HOS Tjokroaminoto tetapi sudah mendunia. Beliau juga dikenal
kalangan cendikiawan diluar negeri sebagai seorang jenius dalam bidang bahasa
yang mampu menulis dan berbicara dalam banyak bahasa asing. Tetapi tidak ada
gading yang tak retak, Prof. Schermerhorn menulis dalam catatan hariannya
tanggal 14 Oktober 1946 bahwa hanya satu kelemahan Agus Salim, yaitu selama
hidupnya selalu melarat dan miskin.
Ketika beliau berusia 6 tahun, ayahnya
menjadi jaksa tinggi pada pengadilan untuk daerah Riau dan sekitarnya. Beliau
diterima pada sekolah dasar Belanda ELS (Europeese Lager School). Pada
tahun 1898 setelah lulus dari ELS, beliau dikirim ke Batavia untuk belajar di
HBS (Hogere Burger School). Pada tahun 1903, beliau lulus dengan angka tertinggi
tidak saja di sekolahnya, tetapi juga untuk sekolah HBS lain seperti Bandung
dan Surabaya. Sejak itu nama beliau menjadi terkenal di seantero Hindia Belanda
di kalangan kaum kolonial dan terpelajar. Beliau kemudian mengajukan permohonan
beasiswa untuk belajar kedokteran di negeri Belanda. Sayangnya permohonan ini
ditolak. Para gurunya mengusahakan agar beliau mendapat beasiswa di STOVIA
(School tot Opleiding van Inlansche), namun hal ini juga gagal.
Kemudian tahun 1905, Snouck Hurgronye
mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar bereksperimen dengan menempatkan
tenaga pribumi pada perwakilan Belanda di luar negeri. Beliau mendapat tawaran
bekerja pada konsulat Belanda di Jeddah sebagai penerjemah dan mengurus urusan
haji. Selama Di Jeddah, beliau memperoleh kesempatan untuk memperdalam agama
Islam dan bahasa Arab kepada para ulama yang bermukin di Mekkah. Beliau juga
belajar agama Islam pada saudara sepupunya, Sheikh Ahmad Khatib yang telah
bermukim disana.
Selama kurang lebih enam tahun beliau
berada di Arab Saudi. Akhirnya pada tahun 1911, beliau pulang ke Indonesia.
Kepulangannya dari Tanah Suci ini boleh dikatakan sebagai titik tolak
perjuangannya melawan Belanda. Beliau sempat bekerja pada dinas pekerjaan umum.
Namun, ia keluar dari birokrasi Belanda dan mendirikan sekolah swasta di
kampungnya di Kota Gadang. Hal ini tidak lama dikerjakannya. Beliau kemudian
berangkat lagi ke Jakarta dan selanjutnya terjun ke dunia politik melalui
Syarikat Islam (menjadi ketua bersama dengan HOS Tjokroaminoto) dan menjadi
Ketua Partai Serikat Islam Indonesia. Beliau juga mencoba berbagai pekerjaan
selama di Jakarta baik di organisasi politik maupun di pemerintahan. Beliau
beberapa kali menjadi pengelola surat kabar dan sangat produktif menulis baik
tajuk rencana maupun artikel lainnya.
Pada tahun 1915, beliau menjadi
Redaktur II di Harian Neratja dan tidak lama kemudian menjadi pemimpin redaksi.
Beliau pernah menjadi pemimpin redaksi pada Harian Hindia Baroe, Surat Kabar
Fadjar Asia, Harian Moestika dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau
Penerangan Oemoem (AIPO). Dalam harian Neratja, 25 September 1917, beliau
menulis "dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang". Pada
tahun 1925, beliau membentuk Jong Islamieten Bond, tempat berkumpulnya anak-anak
muda Muslim yang kemudian setelah proklamasi tergabung dalam Partai Masyumi,
suatu partai moralis pembela demokrasi.
Beliau bukan saja sosok yang sangat
menghargai demokrasi tetapi beliau juga sangat menghargai hukum hal ini
terlihat dalam tulisannya pada harian Fadjar Asia tanggal 29 November 1927,
Agus Salim menulis tentang “Polisi dan Rakyat" : “sikap polisi terhadap
rakyat, istimewa keganasan dan kebuasan polisi dalam memeriksa orang yang kena
dakwa atau yang hanya kena sangka-sangka rupanya belum berubah-buah. Hampir
tiap hari ada pesakitan di depan landraad yang mencabut “pengakuan" di
depan polisi yang lahir bukan karena betul kejadian melainkan hanya karena
kekerasan siksa".
Beliau menaruh perhatian khusus
terhadap para hakim. “Jika negeri hendak selamat, haruslah pengadilan
berderajat tinggi dalam anggapan orang ramai di negeri ini. Dan hakim-hakim,
istimewa yang mengepalai majelis pengadilan wajiblah selalu menunjukkan sikap
kebesaran yang anggun, disertai kesabaran, keramahan dan kemurahan, yang
menunjukkan ia menjaga jalannya hukum dengan sungguh-sungguh, dengan memakai
timbangan yang jernih, yang sekali-sekali tidak boleh kecampuran pengaruh cinta
dan benci, yang kira-kira boleh memincangkan teraju timbangannya" (Fadjar
Asia, 26 Juni 1928). Meskipun beliau mahir berbahasa asing, beliau justru
menunjukan kecintaannya terhadap bahasa Indonesia dengan berpidato dalam bahasa
Indonesia pada sidang Dewan Rakyat (Volksraad) sehingga menggegerkan Belanda.
Beliau adalah orang Indonesia pertama yang berpidato dengan bahasa Indonesia
pada Dewan Rakyat ini. Karena apa yang telah diputuskan oleh lembaga ini tidak
diindahkan oleh pemerintah Hindia Belanda, beliau keluar dari dewan tersebut
tahun 1923. Beliau menamakan Volksraad sebagai “komedi omong kosong".
Semasa penjajahan Belanda, beliau tidak
pernah ditangkap Belanda. Baru setelah Indonesia merdeka beliau beberapa kali
diasingkan bersama dengan pemimpin nasional lainnya. Salah satu sebab adalah
karena kepandaiannya dalam berdiplomasi. Beliau sangat pandai dalam menyampaikan
kritik tajam dan peda kedalam bentuk yang halus dan cerdas.
Pada masa penjajahan Jepang beliau ikut aktif menjadi anggota Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan karena kemampuan bahasa dari
beliau, maka beliau diminta menjadi anggota Panitia Sembilan yang berperan
besar dalam perumusan Pembukaan Undang - Undang Dasar (UUD) 1945, yang semula
berjudul Piagam Jakarta.
Setelah Indonesia merdeka, beliau
beberapa kali menduduki posisi menteri muda yaitu Menteri Muda Luar Negeri Kabinet
Syahrir II pada tahun 1946 dan Kabinet III pada tahun 1947. Beliau juga
kemudian menjadi menteri luar negeri yaitu Menteri Luar Negeri Kabinet Amir
Sjarifuddin pada tahun 1947, Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta pada 1948 -
1949. Pengakuan negara-negara Arab atas kemerdekaan Indonesia tahun 1947 dapat
dianggap sebagai jasa beliau setelah sebelumnya, sempat selama tiga bulan
beliau mengembara di Timur Tengah dengan kondisi keuangan yang sangat terbatas
sebagai utusan negara yang baru merdeka. Beliau juga pernah mengetuai delegasi
Indonesia dalam Inter Asian Relation Conference di India.
Pada tahun 1952, beliau menjabat
sebagai Ketua pertama dari Dewan Pers Indonesia. Pengetahuannya yang luas
mengenai Islam menyebabkan Agus Salim menjadi dosen tamu di Universitas Cornell
dan Princenton University, Amerika Serikat. Kemampuan bahasa dan keluasan ilmu
pengetahuan menyebabkan beliau menguasai suatu diskusi atau percakapan. Prof
George Kahin menuturkan bahwa suatu hari ia mengundang beliau dan Ngo Dinh Diem
makan di ruang dosen Cornell University. Beliau waktu itu sebagai pembicara
tamu di Cornel University tersebut sedangkan Ngo Dinh Diem, juga pandai
berpidato dan berdebat, saat itu sedang mengumpulkan dukungan bagi Vietnam
Selatan. Kahin terperangah karena kedua tokoh itu ternyata sudah asyik berdebat
dalam bahasa Perancis. Ternyata beliau dapat membuat Ngo Dinh Diem menjadi
pendengar saja.
Ketika mengajar di Cornell University ,
beliau tidak melupakan kebiasaan mengisap rokok kretek, sehingga para muridnya
menjadi tidak asing lagi dengan bau rokok kretek yang eksotik itu. Seperti
kebanyakan orang Minangkabau, beliau tidak pernah rendah diri dalam berhadapan
tokoh asing. Ketika mewakili Presiden Soekarno menghadiri upacara penobatan
Ratu Inggris Elisabeth tahun 1953, beliau kesal dengan suami ratu yaitu
Pangeran Philip yang kurang perhatian terhadap tamu asing yang datang dari
negeri-negeri yang jauh. Beliau menghampiri dan mengayun-ayunkan rokok
kreteknya di sekitar hidung sang pangeran. "Apakah Paduka mengenali aroma
rokok ini? " Dengan ragu-ragu menghirup rokok itu, sang pangeran mengakui
tidak mengenal aroma tersebut. Beliau pun dengan tersenyum berujar “Itulah
sebabnya 300 atau 400 tahun yang lalu bangsa Paduka mengarungi lautan
mendatangi negeri saya". Maka suasana pun menjadi mencair, sang pangeran
mulai ramah meladeni tamunya.
Mohamad Roem pun mengakui kelebihannya,
“Jarang ada yang mau menghadapi Agus Salim dalam berdebat.
Beliau ahli berkelit, bernegosisi, dan lidahnya amat tajam kala
mengecam,” jelas Mohamad Roem, rekan Agus Salim semasa aktif di
Jong Islamieten Bond.
Beliau diangkat sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI No. 657
Tahun 1961 tanggal 27 Desember 1961. Beliau juga mendapat tiga tanda jasa
anumerta, yaitu: Bintang Mahaputera Tingkat I (1960), Satyalencana Peringatan
Perjuangan Kemerdekaan (1961), dan Pahlawan Kemerdekaan Nasional (1961). Beliau
meninggal pada tanggal 4 November 1954.
Karir dalam Pemerintahan
-
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia
Pada Kabinet AMIR SYARIFUDDIN I, Periode 1947 – 1947
-
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia
Pada Kabinet AMIR SYARIFUDDIN II, Periode 1947 – 1948
-
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia
Pada Kabinet MOHAMMAD HATTA I, Periode 1948 – 1949
-
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Pada
Kabinet MOHAMMAD HATTA II, Periode 1949 – 1949
-
MASA JABATAN : 03 Juli 1947
– 04 Agustus 1949 & 04 Agustus 1949 – 20 Desember 1949
TEMPAT,
TANGGAL LAHIR : Koto Gadang, Bukittinggi 8 Oktober 1884
Sumber:
-
Mochtar, Kustiniyati, Seratus Tahun
Haji Agus Salim, 1984, Penerbit Sinar Harapan
-
Ensiklopedi Tokoh Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar