Penggerak dan
Pengembang Ilmu Pengetahuan
Al-Kindi lahir pada tahun 809 M/185 H,
Nama sebenarnya adalah Abu Yusuf Ya’kub Bin Ishak Al-kindi. Ia adalah keturunan
suku Kindah, Arab selatan yang merupakan salah satu suku Arab besar pra-Islam.
Ayahnya Ishak Al-Sabah adalah seorang gubernur Kufah di masa Khalifah Al-Mahdi
(775-78M) dan Khalifah Ar-Rasyid (786-809M). Ia lahir ditengah keluarga yang kaya
akan informasi kebudayaan dan berderajat tinggi serta terhormat dimata
masyarakat. Al-Kindi (185H/801M-260H/873M).
Ia pergi ke Bashra yang pada saat itu
merupakan tempat persemaian gerakan intelektual dan pusat ilmu pengetahuan yang
besar. Sebuah kota yang menjanjikan harapan bagi para penggumul ilmu. Ia lalu
pergi ke Baghdad dan menyelesaikan pendidikannya disana, di sini ia berkenalan
dengan al-Ma’mun, al-Mu’tasim dan Ahmad putra al-Mu’tasim. Ia diangkat sebagai
guru pribadi Ahmad, yang kepadanya ia persembahkan karya-karyanya.
Al-Kindi hidup selama masa pemerintahan
Daulah Abbasiyah, yaitu al-Amin (809-813M), al-Ma’mun (813-833M), al-Mu’tasim
(833-842M), al-Watiq (842-847M), dan al-Mutawakil (847-841M).
Karya-karyanya
1.
Bidang Astronomi
-
Risalah fi Masa’il Su’ila anha min
Ahwal al-Kawatib, jawaban dari pertanyaan tentang planet.
-
Risalah fi Jawab Masa’il Thabi’iyah fi
Kayfiyyat Nujumiah, pemecahan soal-soal fisis tentang sifat-sifat perbintangan.
-
Risalah fi anna Ru’yat al-Hilal la
Tudhbathu bi al-Haqiqoh wa innama al-Qowl fiha bi at-Taqrib, bahwa pengamatan
astronomi bulan baru tidak dapat ditentukan dengan ketetapan mutlak.
-
Risalah fi Mathrah asy-Syu’a, tentang
projeksi sinar.
-
Risalah fi Fashlayn, tentang dua musim
(musim panas dan musim dingin).
-
Risalah fi Idhah ‘illat Ruju’
al-Kawakib, tentang penjelasan sebab gerak kebelakang planet-planet.
-
Fi asy-Syu’at, tentang sinar (bintang).
2.
Meteorologi
-
Risalah fi ‘illat Kawnu adh-Dhabasb,
tentang sebab asal mula kabut.
-
Risalah fi Atshar alladzi Yazhharu fi
al-laww wa Yusamma Kawkaban, tentang tanda yang tampak di langit dan disebut
sebuah planet.
-
Risalah fi ‘illat Ikhtilaf Anwa’us
Sanah, tentang sebab perbedaan dalam tahun-tahun.
-
Risalah fi al-Bard al-Musamma “Bard
al-Ajuz”, tentang dingin.
3.
Ramalan
-
Risalah fi Taqdimat al-Khabar, tentang
prediksi.
-
Risalah fi Taqdimat al-Ma’rifah fi
al-Ahdats, tentang ramalan dengan mengamati gejala meteorologi.
4.
Besaran (Magnitude)
-
Risalah Ah’ad Masafat al-Aqalim,
tentang besarnya jarak antara tujuh iklim.
-
Risalah fi Istikhraj Bu’da Markaz
al-Qamar min al-Ardh, tentang perhitungan jarak antara pusat perhitungan bulan
dari bumi.
5.
Ilmu Pengobatan
-
Risalah fi ‘illat Naftcad-Damm, tentang
hemoptesis (batuk darah dari saluran pernapasan).
-
Risalah fi Adhat al-Kalb al-Kalib,
tentang rabies.
6.
Geometri
-
Risalah fi Amal Syakl
al-Mutawassithayn, tentang konstruksi bentuk garis-garis tengah.
-
Risalah Ishlah Kitab Uqlidis, tentang
perbaikan buku Euclides.
7.
Ilmu Hitung
-
Risalah fi al-Kammiyat al-Mudhafah,
tentang jumlah relatif.
-
Risalah fi at-Tajhid min Jihat
al-‘Adad, tentang keesaan dari segi angka-angka.
8.
Logika
-
Risalatuhu fi Madhkal al-Manmtiq bi
Istifa al-Qawl fihi, sebuah pengantar lengkap tentang logika.
-
Ikhtisar Kitab Isaghuji li Farfuris,
sebuah ikhtisar Eisagoge Porphyry.
9.
Sferika
-
Risalah fi al-Kuriyat, tentang sferika.
-
Risalah fi Amalis Samiti ‘ala Kurah,
tentang konstruksi sebuah azimuth atas suatu sferah.
Karya-karya yang disebutkan diatas
adalah merupakan sebagian terkecil dari sekian banyak karya Al-Kindi. Karya
Al-Kindi di susun oleh Ibnu An-Nadim yang menyebutkan tidak kurang dari 242
buah karya Al-Kindi, sedangkan sumber lain menyebutkan 265 buah, dan membaginya
menurut pokok persoalannya menjadi filsafat, logika, ilmu hitung, sferika, ilmu
kedokteran, astrologi, polemik, psikologi, politik, meteorologi, dan ramalan.
Ajaran Filsafatnya
Menurut Al-Kindi, filsafat hendaknya
diterima sebagai bagian dari kebudayaan Islam. Gagasan Al-Kindi mengenai
filsafat berasal dari Aristotelianisme Neo-Platonis, namun juga benar ia
meletakkan gagasan itu dalam konteks baru, dengan mendamaikan warisan
Hellenistis dengan Islam.
Al-Nadim memberikan gambaran tentang
Al-Kindi: “Al-Kindi adalah manusia terbaik pada masanya, unik pengetahuannya
tentang seluruh ilmu pengetahuan kuno. Ia disebut filosof Arab. Buku-bukunya
mengandung aneka ilmu pengetahuan. Kami menyebutnya filosof alam, karena ia menonjol
dalam ilmu pengetahuan”.
Filsafat merupakan pengetahuan tentang
kebenaran, dalam risalah Al-Kindi tentang Filsafat Awal, berbunyi demikian:
“Filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas
kemampuan manusia, karena tujuan para filosof dalam berteori adalah mencapai
kebenaran, dan dalam berpraktek adalah menyesuaikan dengan kebenaran’. Pada
akhir risalahnya ia menyifati Allah dengan istilah “kebenaran” yang merupakan
tujuan filsafat.
Keselarasan Filsafat dan Agama
Al-Kindi mengarahkan filsafat muslim ke
arah kesesuaian antara filsafat dan agama. Filsafat berlandaskan akal pikiran
sedangkan agama berdasarkan wahyu. Logika merupakan metode filsafat sedang iman
merupakan kepercayaan kepada hakikat yang disebutkan dalam Al-Qur’an
sebagaimana diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya.
Keselarasan antara filsafat dan agama
didasarkan pada tiga alasan: -1- Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat. -2-
Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian.
-3- Menuntut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama.
Filsafat merupakan pengetahuan tentang
hakikat segala suatu, dan ini mengandung teologi (al-rububiyah), ilmu tauhid,
etika dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
Dalam risalah, “Jumlah Karya
Aristoteles”, Al-Kindi membedakan secara tajam antara agama dan filsafat.
Pembicaraannya tentang masalah ini dalam risalah ini, membuktikan bahwa ia
membandingkan agama Islam denganfilsafat Aristoteles. Ilmu Ilahiah yang
dibedakannya dari filsafat adalah Islam, sebagaimana yang diturunkan kepada
Rasulullah dan termaktub dalam Al-Qur’an. Bertentangan dengan pendapat umumnya
bahwa ilmu agama (teologi) adalah bagian dari filsafat, disini kita dapati (1)
bahwa kedudukan teologi lebih tinggi dari filsafat. (2) bahwa agama merupakan
ilmu Ilahiah, sedang filsafat merupakan ilmu insani. (3) bahwa jalur agama
adalah keimanan, sedang jalur filsafat adalah akal. (4) bahwa pengetahuan Nabi
adalah langsung melalui wahyu, sedang pengetahuan filosof diperoleh melalui
logika dan pemaparan.
Kesimpulannya, Al-Kindi adalah filosof
pertama dalam Islam, yang menyelaraskan antara agama dan filsafat. Ia
memberikan dua pandangan yang berbeda. Pertama, mengikuti jalur ahli logika dan
memilsafatkan agama. Kedua, memandang agama sebagai sebuah ilmu Ilahiah dan
menempatkannya di atas filsafat. Ilmu Ilahiah ini diketahui melalui jalur para
Nabi. Tetapi melalui penafsiran filosofis, agama menjadi selaras dengan
filsafat.
Tuhan
Suatu pengetahuan memadai dan
menyakinkan tentang Tuhan merupakan tujuan akhir filsafat.
Ketunggalan, ketakterlihatan,
ketakterbagian, dan kepenyebaban beban gerak merupakan sifat-sifat-Nya yang
dinyatakan oleh Theon. Ketika Al-Kindi menyebutkan itu, ia tak lebih dari
pengalihkonsepsi Hellenistis tentang Tuhan. Keaslian Al-Kindi terletak pada
upayanya mendamaikan konsep Islam tentang Tuhan dengan gagasan filosofis
Neo-Platonis terkemudian.
Gagasan dasar Islam tentang Tuhan
adalah Keesaan-Nya, penciptaan oleh-Nya dari ketakadaan, dan ketergantungan
semua ciptaan kepada-Nya. Sifat-sifat ini dalam Al-Qur’an dinyatakan secara tak
filosofis atau dialektis.
Al-Kindi menyifati Tuhan dengan
istilah-istilah baru. Tuhan adalah yang benar. Ia tinggi dan dapat disifati
hanya dengan sebutan-sebutan negatif. “Ia bukan materi, tak berbentuk, tak
berjumlah, tak berkualitas, tak berhubungan, juga Ia tak dapat disifati dengan
ciri-ciri yang ada, Ia tak berjenis, tak terbagi dan tak berkejadian. Ia
abadi…”.
Untuk memahami posisi Al-Kindi, kita
mesti merujuk pada kaum Tradisionalis dan Mu’tazilah. Kaum tradisionalis (Ibn
Hanbal adalah salah seorang tokohnya) menafsirkan sifat-sifat Allah dengan
“nama-nama Allah”, mereka menerima makna harfiyah Al-Qur’an tanpa memberikan
penafsiran lebih jauh. Kaum Mu’tazilah yang semasa dengan Al-Kindi, secara akal
menfsirkan sifat-sifat Allah demi memantapkan Kemahaesaan-Nya. Mereka
memecahkan masalah ini berdasarkan hubungan antara zat Allah dan sifat-sifat-Nya.
Menurut mereka, sifat-sifat utama Allah ada tiga: tahu, kuasa dan berkehendak.
Sifat-sifat ini mereka tolak, karena bila mereka menerima hal ini sebagai
sifat-sifat Tuhan, berari zat-Nya banyak.
Al-Kindi, filosof muslim pertama,
mengikuti kaum Mu’tazilahdalam menolak sifat-sifat tersebut. Tetapi
pendekatannya dalam memecahkan masalah tersebut berbeda sekali. Pertama, yang
menjadi perhatiannya bukan zat Allah dan sifat-sifat-Nya, tetapi hal dapat
disifatinya zat Allah. Kedua, segala sesuatu dapat didefinisikan, karena itu
mereka dapat diketahui dengan menentukan jenis-jenis mereka, kecuali Allah yang
tak berjenis. Dengan kata lain Al-Kindi mengikuti jalur “ahli logika”.
Dalih-dalih Al-Kindi tentang kemaujudan
Allah bertumpu pada keyakinan akan hubungan sebab akibat. Segala yang maujud
pasti mempunyai sebab yang memaujudkannya. Rangkaian sebab itu terbatas,
akibatnya ada sebab pertama atau sebab sejati yaitu Allah. Dalam filsafat
Al-Kindi, Tuhan adalah sebab efisien.
Ada dua macam sebab efisien: Pertama,
sebab efisien sejati dan aksinya adalah ciptaan dari ketiadaan (ibda’). Kedua,
semua sebab efisien yang lain adalah lanjutan, yaitu sebab-sebab tersebut ada
lantaran sebab-sebab lain.
Segala kemaujudan senantiasa
membutuhkan Allah. Hal ini karena Allah, Sang Pencipta yang abadi, adalah
penunjang semua ciptaan-Nya.
Ketakterhinggan
Alam, dalam sistem Aristoteles,
terbatas oleh ruang tetapi tak terbatas oleh waktu, karena gerak alam seabadi
Penggerak Tak Tergerakkan. Keabadian alam dalam pemikiran Islam, ditolak,
karena Islam berpendirian bahwa alam diciptakan.
Al-Kindi, berbeda dengan para filosof
besar penggantinya, menyatakan alam ini tak kekal. Mengenai hal ini ia
memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan
secara matematik.
Benda-benda fisik terdiri atas materi
dan bentuk, dan bergerak didalam ruang dan waktu. Jadi materi, bentuk, ruang
dan waktu merupakan unsur dari setiap fisik. Wujud yang begitu erat kaitannya
dengan fisik, waktu dan ruang adalah terbatas, karena mereka takkan ada kecuali
dalam keterbatasan.
Waktu bukanlah gerak, melainkan
bilangan pengukur gerak, karena waktu tak lain adalah yang dahulu dan yang
kemudian.
Dalil-dalil yang menentang
ketakterbatasan diulang dalam sejumlah tulisan Al-Kindi. Kami kutipkan dari
tulisannya, “Perihal Keterbatasan Wujud Dunia”, empat teori yang membuktikan
keterbatasan:
1.
Dua besaran (di pakai untuk garis,
permukaan atau benda), yang sama disebut sama, bila yang satu tak lebih besar
daripada yang lain.
2.
Bila satu besaran ditambahkan pada
salah satu dari dua besaran yang sama tersebut, maka keduanya akan menjadi tak
sama.
3.
Dua besaran yang sama tak bisa menjadi
tak terbatas, bila yang satu lebih kecil dari yang lain, karena yang lebih
kecil mengukur yang lebih besar atau sebagian darinya.
4.
Jumlah dua besaran yang sama, karena
masing-masing terbatas, adalah terbatas.
Dengan ketentuan ini, maka setiap benda
yang terdiri atas materi dan bentuk, yang terbatas ruang, dan bergerak didalam
waktu adalah terbatas, meski benda tersebut adalah wujud dunia. Dan karena
terbatas maka tak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal.
Ruh dan Akal
Ruh adalah suatu wujud sederhana, dan
zatnya terpancar dari Sang Pencipta. Ruh bersifat spiritual, ketuhanan,
terpisah, dan berbeda dari tubuh, maka ruh memperoleh pengetahuan yang ada di
bumi dan melihat hal yang dialami. Setelah terpisah dari tubuh ia menuju ke
alam akal, kembali ke nur Sang Pencipta dan bertemu dengan-Nya.
Tiga bagian ruh adalah nalar,
keberangan dan hasrat. Orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jasmani,
dan berusaha mencapai hakikat segala sesuatu adalah orang yang baik dan sangat
sesuai dengan Sang Pencipta.
Al-Kindi membagi akal menjadi empat
macam yaitu (1) Akal yang selalu bertindak. (2) Akal yang selalu potensial
berada didalam ruh. (3) Akal yang telah berubah dalam ruh, dari daya menjadi
aktual. (4) Akal yang kita sebut akal yang kedua. Yang dimaksudkan dengan “akal
kedua” yaitu tingkat kedua aktualitas, diantara yang memiliki pengetahuan
dengan yang mempraktekkannya.
Jalannya akal ini diterangkan kembali
oleh Al-kindi dalam risalahnya “Filsafat Awal”. Ia berkata: ‘Bila genus-genus
dan spesies menyatu dalam ruh, maka mereka menjadi terakali. Ruh menjadi
benar-benar rasional setelah menyatu dengan spesies. Sebelum menyatu ruh
berdaya. Maka, segala suatu yang maujud dalam bentuk daya tak dapat menjadi
aktual, kecuali bila dibuat oleh sesuatu dari daya menjadi aktual. Genus-genus
dan spesies itulah yang menjadikan ruh yang berupa daya rasional menjadi
benar-benar aktual, maksud saya yang menyatu dengannya”.
Referensi:
-
Azis’s blog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar