Definisi
Bahasa Jurnalistik adalah gaya bahasa yang digunakan
wartawan dalam menulis berita. Disebut juga Bahasa Komunikasi Massa (Language
of Mass Communication, disebut pula Newspaper Language), yakni bahasa yang
digunakan dalam komunikasi melalui media massa, baik komunikasi lisan (tutur)
di media elektronik (radio dan TV) maupun komunikasi tertulis (media cetak dan
online), dengan ciri khas singkat, padat, dan mudah dipahami.
Bahasa Jurnalistik memiliki dua ciri utama:
komunikatif dan spesifik. Komunikatif artinya langsung menjamah materi atau
langsung ke pokok persoalan (straight to the point), bermakna tunggal, tidak
konotatif, tidak berbunga-bunga, tidak bertele-tele, dan tanpa basa-basi.
Spesifik artinya mempunyai gaya penulisan tersendiri, yakni kalimatnya
pendek-pendek, kata-katanya jelas, dan mudah dimengerti orang awam. Bahasa
jurnalistik adalah bahasa yang digunakan
wartawan dalam menulis berita. Disebut juga Bahasa Komunikasi Massa
(Language of Mass Communication, disebut pula Newspaper Language), yakni bahasa
yang digunakan dalam komunikasi melalui media massa, baik komunikasi lisan
(tutur) di media elektronik (radio dan TV) maupun komunikasi tertulis (media
cetak dan online), dengan ciri khas singkat, padat, dan mudah dipahami.
Bahasa jurnalistik atau biasa disebut dengan bahasa
pers, merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa Indonesia di samping
terdapat juga ragam bahasa akademik (ilmiah), ragam bahasa usaha (bisnis),
ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa literer (sastra) (Sudaryanto, 1995).
Dengan demikian bahasa jurnalistik memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang
membedakannya dengan ragam bahasa yang lain.
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa
yang digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik
di media massa (Anwar, 1991).[1] Dengan demikian,
bahasa Indonesia pada karya-karya jurnalistiklah yang bisa dikategorikan
sebagai bahasa jurnalistik atau bahasa pers.
Bahasa jurnalistik itu sendiri juga memiliki karakter
yang berbeda-beda berdasarkan jenis tulisan apa yang akan terberitakan. Bahasa
jurnalistik yang digunakan untuk menuliskan reportase investigasi tentu lebih
cermat bila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam penulisan features. Bahkan bahasa jurnalistik pun sekarang sudah
memiliki kaidah-kaidah khas seperti dalam penulisan jurnalisme perdamaian (McGoldrick dan Lynch,
2000). Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis berita utama—ada yang
menyebut laporan utama, forum utama--
akan berbeda dengan bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis
tajuk dan features. Dalam menulis banyak faktor yang dapat mempengaruhi karakteristik bahasa jurnalistik
karena penentuan masalah, angle tulisan, pembagian tulisan, dan sumber (bahan
tulisan). Namun demikian sesungguhnya bahasa jurnalistik tidak meninggalkan
kaidah yang dimiliki oleh ragam bahasa Indonesia baku dalam hal pemakaian
kosakata, struktur sintaksis dan wacana (Reah, 2000). Karena berbagai
keterbatasan yang dimiliki surat kabar (ruang, waktu) maka bahasa jurnalistik
memiliki sifat yang khas yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas
dan menarik. Kosakata yang digunakan dalam bahasa jurnalistik mengikuti
perkembangan bahasa dalam masyarakat.
Sifat-sifat tersebut merupakan hal yang harus dipenuhi
oleh ragam bahasa jurnalistik mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan
masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Dengan kata lain bahasa
jurnalistik dapat dipahami dalam ukuran intelektual minimal. Hal ini
dikarenakan tidak setiap orang memiliki cukup waktu untuk membaca surat kabar.
Oleh karena itu bahasa jurnalistik sangat mengutamakan kemampuan untuk
menyampaikan semua informasi yang dibawa kepada pembaca secepatnya dengan mengutamakan daya komunikasinya.
Dengan perkembangan jumlah pers yang begitu pesat
pasca pemerintahan Soeharto—lebih kurang ada 800 pelaku pers baru—bahasa pers
juga menyesuaikan pasar. Artinya, pers
sudah menjual wacana tertentu, pada golongan tertentu, dengan isu-isu yang
khas.
Sejarah Bahasa Jurnalistik
Ada yang berpendapat bahwa Nabi Nuh, adalah orang
pertama yang melakukan pencarian dan penyampaian berita.Dikisahkan bahwa pada
waktu itu sebelum Allah SWT menurunkan banjir besar, maka diutuslah malaikat
menemui dan mengajarkan cara membuat kapal laut sampai selesai kepada Nabi Nuh.
Kapal tersebut dibuat di atas bukit dan bertujuan
mengevakuasi Nabi Nuh bersama sanak keluarganya dan seluruh pengikutnya yang
saleh dan segala macam hewan masing-masing satu pasang.Setelah semua itu
dilakukan, maka turunlah hujan selama berhari-hari yang disertai angin kencang
dan kemudian terjadilah banjir besar. Dunia pun dengan cepat menjadi lautan
yang sangat besar dan luas.
Nabi Nuh bersama orang-orang yang beriman lainnya dan
hewan-hewan di dalam kapal laut, berlayar dengan selamat di atas gelombang
lautan banjir yang sangat dahsyat.Setelah berbulan-bulan lamanya, Nabi Nuh
beserta orang-orang beriman lainnya mulai khawatir dan gelisah, karena
persediaan makanan mulai berkurang.
Masing-masing penumpang pun mulai bertanya-tanya,
apakah banjir besar itu memang tidak berubah atau bagaimana? Mereka pun
berupaya mencari dan meminta kepastian.Atas permintaan dan desakan tersebut,
Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk meneliti keadaan air
dan kemungkinan adanya makanan.
Setelah
beberapa lama burung itu terbang mengamati keadaan air, dan kian kemari mencari
makanan, ternyata upayanya sia-sia belaka. Burung dara itu hanya melihat daun
dan ranting pohon zaitun (olijf) yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting
itu pun di patuknya dan dibawanya pulang ke kapal.Atas datangnya kembali burung
itu dengan membawa ranting zaitun, Nabi Nuh mengambil kesimpulan bahwa air bah
sudah mulai surut, namun seluruh permukaan bumi masih tertutup air, sehingga
burung dara itu pun tidak menemukan tempat untuk istirahat. Maka kabar dan
berita itu pun disampaikan Nabi Nuh kepada seluruh anggota penumpangnya.
Atas dasar fakta tersebut, para ahli sejarah menamakan
Nabi Nuh sebagai seorang pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) yang
pertama kali di dunia. Malah ada yang menyimpulkan bahwa Kantor Berita pertama
di dunia adalah Kapal Nabi Nuh. Dalam sejarah Kerajaan Romawi disebutkan bahwa
Raja Imam Agung menyuruh orang membuat catatan tentang segala kejadian penting.
Catatan itu dibuat pada annals (papan tulis yang digantungkan di serambi rumah
raja). Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang
yang lewat dan memerlukannya.
Pengumuman sejenis itu dilanjutkan oleh Julius Caesar
pada zaman kejayaannya.Julius Caesar mengumumkan hasil persidangan senat,
berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa
yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya, dengan jalan menuliskannya pada
papan pengumuman berupa papan tulis pada masa itu (60 SM).
Pemakaian Bahasa Jurnalistik
Terdapat berbagai penelitian yang terkait dengan bahasa,
pikiran, ideologi, dan media massa cetak di Indonesia. Anderson (1966, 1984)
meneliti pengaruh bahasa dan budaya
Belanda serta Jawa dalam perkembangan bahasa politik Indonesia modern,
ketegangan bahasa Indonesia yang populis dan bahasa Indonesia yang
feodalis. Naina (1982) tentang perilaku
pers Indonesia terhadap kebijakan pemerintah seperti yang termanifestasikan
dalam Tajuk Rencana. Hooker (1990) meneliti model wacana zaman orde lama dan
orde baru. Penelitian tabor Eryanto (2001) tentang analisis teks di media
massa. Dari puluhan penelitian yang breakout dengan pers, tenyata belum
terdapat penelitian yang secara khusus memformulasikan karakteristik (ideal)
bahasa jurnalistik berdasarkan induksi karakteristik bahasa pers yang termanifestasikan dalam
kata, kalimat, dan wacana.
Di awal tahun 1980-an terbersit berita bahwa bahasa
Indonesia di media massa menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia baku. Roni
Wahyono (1995) menemukan kemubaziran bahasa wartawan di Semarang dan Yogyakarta
pada aspek gramatikal (tata bahasa), leksikal (pemilihan kosakata) dan
ortografis (ejaan). Berdasarkan aspek kebahasaan, kesalahan tertinggi yang
dilakukan wartawan terdapat pada aspek gramatikal dan kesalahan terendah pada
aspek ortografi. Berdasarkan jenis berita, berita olahraga memiliki frekuensi
kesalahan tertinggi dan frekuensi kesalahan terendah pada berita kriminal.
Penyebab wartawan melakukan kesalahan bahasa dari faktor penulis karena
minimnya penguasaan kosakata, pengetahuan kebahasaan yang terbatas, dan kurang bertanggung jawab
terhadap pemakaian bahasa, karena kebiasaan lupa dan pendidikan yang belum
baik. Sedangkan faktor di luar penulis, yang menyebabkan wartawan melakukan kesalahan
dalam menggunakan bahasa Indonesia karena keterbatasan waktu menulis, lama
kerja, banyaknya naskah yang dikoreksi, dan tidak tersedianya redaktur bahasa
dalam surat kabar.
Walaupun di dunia penerbitan telah
ada buku-buku jurnalistik praktis karya Rosihan Anwar (1991), Asegaf (1982),
Jacob Oetama (1987), Ashadi Siregar, dll, namun masih perlu dimunculkan
petunjuk akademik maupun teknis pemakaian bahasa jurnalistik. Dengan mengetahui
karakteristik bahasa pers Indonesia—termasuk sejauh mana mengetahui
penyimpangan yang terjadi, kesalahan dan kelemahannya,-- maka akan dapat
diformat pemakaian bahasa jurnalistik yang komunikatif.
Terdapat beberapa penyimpangan
bahasa jurnalistik dibandingkan dengan kaidah bahasa Indonesia baku:
Peyimpangan morfologis. Peyimpangan ini sering terjadi
dijumpai pada judul berita surat kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu
pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata
kerja yang berupa prefiks atau awalan dihilangkan. Kita sering menemukan judul
berita misalnya, Polisi Tembak Mati Lima Perampok Nasabah Bank. Israil Tembak
Pesawat Mata-mata. Amerika Bom Lagi Kota Bagdad.
Kesalahan sintaksis. Kesalahan berupa pemakaian
tatabahasa atau struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan
pengertian. Hal ini disebabkan logika yang kurang bagus. Contoh: Kerajinan
Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat. Seharusnya Judul tersebut
diubah Hasil Kerajinan Desa Kasongan Banyak Diekspor Ke Amerika. Kasus serupa sering dijumpai baik di koran
lokal maupun koran nasional.
Kesalahan
kosakata. Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme)
atau meminimalkan dampak buruk pemberitaan. Contoh: Penculikan Mahasiswa Oleh
Oknum Kopasus itu Merupakan Pil Pahit bagi ABRI. Seharusnya kata Pil Pahit
diganti kejahatan. Dalam konflik Dayak- Madura, jelas bahwa yang bertikai
adalah Dayak dan Madura, tetapi wartawan tidak menunjuk kedua etnis secara
eksplisit. Bahkan di era rezim Soeharto banyak sekali kosakata yang diekspose merupakan
kosakata yang menekan seperti GPK, subversif, aktor intelektual, ekstrim kiri,
ekstrim kanan, golongan frustrasi, golongan anti pembangunan, dll. Bahkan di
era kebebasan pers seperti sekarang ini, kecenderungan pemakaian kosakata yang
bias makna semakin banyak.
Kesalahan ejaan. Kesalahan ini hampir setiap kali
dijumpai dalam surat kabar. Koran Tempo yang terbit 2 April 2001yang lalu tidak
luput dari berbagai kesalahan ejaan. Kesalahan ejaan juga terjadi dalam
penulisan kata, seperti: Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis hawatir, jadwal
ditulis jadual, sinkron ditulis singkron, dll.
Kesalahan
pemenggalan. Terkesan setiap ganti garis pada setiap kolom kelihatan asal
penggal saja. Kesalahan ini disebabkan pemenggalan bahasa Indonesia masih
menggunakan program komputer berbahasa Inggris. Hal ini sudah bisa diantisipasi
dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.
Untuk menghindari beberapa kesalahan seperti diuraikan
di atas adalah melakukan kegiatan penyuntingan baik menyangkut pemakaian
kalimat, pilihan kata, dan ejaan. Selain itu, pemakai bahasa jurnalistik yang
baik tercermin dari kesanggupannya menulis paragraf yang baik. Syarat untuk
menulis paragraf yang baik tentu memerlukan persyaratan menulis kalimat yang
baik pula. Paragraf yang berhasil tidak hanya lengkap pengembangannya tetapi
juga menunjukkan kesatuan dalam isinya. Paragraf menjadi rusak karena penyisipan-penyisipan yang tidak
bertemali dan pemasukan kalimat topik kedua atau gagasan pokok lain ke dalamnya.
Oleh karena itu seorang penulis seyogyanya
memperhatikan pertautan dengan (a) memperhatikan kata ganti; (b) gagasan yang
sejajar dituangkan dalam kalimat sejajar; manakala sudut pandang terhadap isi
kalimat tetap sama, maka penempatan fokus dapat dicapai dengan pengubahan
urutan kata yang lazim dalam kalimat, pemakaian bentuk aktif atau pasif, atau
mengulang fungsi khusus. Sedangkan variasi dapat diperoleh dengan (1) pemakaian
kalimat yang berbeda menurut struktur
gramatikalnya; (2) memakai kalimat yang panjangnya berbeda-beda, dan (3) pemakaian
urutan unsur kalimat seperti subjek, predikat, objek, dan keterangan dengan
selang-seling. Jurnalistik “gaya Tempo” menggunakan kalimat-kalimat yang pendek
dan pemakaian kata imajinatif. Gaya ini banyak dipakai oleh berbagai wartawan
yang pernah bersentuhan dengan majalah Tempo.
Agar penulis mampu memilih kosakata yang tepat mereka
dapat memperkaya kosakata dengan latihan penambahan kosakata dengan teknik
sinonimi, dan antonimi. Dalam teknik sinonimi penulis dapat mensejajarkan kelas
kata yang sama yang nuansa maknanya sama atau berbeda. Dalam teknik antonimi
penulis bisa mendaftar kata-kata dan lawan katanya. Dengan cara ini penulis
bisa memilih kosakata yang memiliki rasa dan bermakna bagi pembaca. Jika
dianalogikan dengan makanan, semua makanan memiliki fungsi sama, tetapi setiap
orang memiliki selera makan yang berbeda. Tugas jurnalis adalah melayani selera
pembaca dengan jurnalistik yang enak dibaca dan perlu. (Slogan Tempo).
Goenawan Mohamad pada 1974 telah melakukan “revolusi
putih” (Istilah Daniel Dhakidae) yaitu melakukan kegiatan pemangkasan sekaligus
pemadatan makna dan substansi suatu berita. Berita-berita yang sebelumnya
cenderung bombastis bernada heroik--karena pengaruh revolusi—dipangkas habis
menjadi jurnalisme sastra yang enak dibaca. Jurnalisme semacam ini setidaknya
menjadi acuan atau model koran atau majalah yang redakturnya pernah
mempraktikkan model jurnalisme ini. Banyak orang fanatik membaca koran atau
majalah karena gaya jurnalistiknya,
spesialisasinya, dan spesifikasinya. Ada koran yang secara khusus menjual
rubrik opini, ada pula koran yang mengkhususkan diri dalam peliputan berita.
Ada pula koran yang secara khusus mengkhususkan pada bisnis dan iklan. Jika
dicermati, sesungguhnya, tidak ada koran yang betul-betul berbeda, karena
biasanya mereka berburu berita pada sumber yang sama. Jurnalis yang bagus,
tentu akan menyiasati selera dan pasar pembacanya.
Dalam hubungannya dengan prinsip penyuntingan bahasa
jurnalistik terdapat beberapa prinsip yang dilakukan (1) balancing, menyangkut
lengkap-tidaknya batang tubuh dan data tulisan, (2) visi tulisan seorang
penulis yang mereferensi pada penguasaan atas data-data aktual; (3) logika
cerita yang mereferensi pada kecocokan; (4) akurasi data; (5) kelengkapan data,
setidaknya prinsip 5wh, dan (6) panjang pendeknya tulisan karena keterbatasan
halaman.
Prinsip Dasar Bahasa Jurnalistik
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa
sebagai tampak dalam harian-harian surat kabar dan majalah. Dengan fungsi yang
demikian itu bahasa jurnalistik itu
harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal. Menurut
JS Badudu (1988) bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu singkat,
padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas. Sifat-sifat itu harus
dimiliki oleh bahasa pers, bahasa jurnalistik, mengingat surat kabar dibaca
oleh semua lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Oleh
karena itu beberapa ciri yang harus dimiliki bahasa jurnalistik di antaranya:
- Singkat,
artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan yang panjang dan
bertele-tele.
- Padat,
artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu menyampaikan
informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung
didalamnya. Menerapkan prinsip 5 wh, membuang kata-kata mubazir dan
menerapkan ekonomi kata.
- Sederhana,
artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal dan
sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks.
Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pemakaian kalimatnya, tidak berlebihan
pengungkapannya (bombastis).
- Lugas,
artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna
informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga .
- Menarik,
artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan
berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati.
- Jelas,
artinya informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat dipahami
oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan
penyimpangan/pengertian makna yang berbeda, menghindari ungkapan bersayap
atau bermakna ganda (ambigu). Oleh karena itu, seyogyanya bahasa
jurnalistik menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif. Namun
seringkali kita masih menjumpai judul berita: Tim Ferrari Berhasil
Mengatasi Rally Neraka Paris-Dakar. Jago Merah Melahap Mall Termewah di
Kawasan Jakarta. Polisi Mengamankan Oknum Pemerkosa dari Penghakiman
Massa.
Dalam menerapkan ke-6 prinsip tersebut tentunya
diperlukan latihan berbahasa tulis yang terus-menerus, melakukan penyuntingan
yang tidak pernah berhenti. Dengan berbagai upaya pelatihan dan penyuntingan,
barangkali akan bisa diwujudkan keinginan jurnalis untuk menyajikan ragam
bahasa jurnalistik yang memiliki rasa dan memuaskan dahaga selera
pembacanya.
Daftar Pustaka
Pendapat
Suroso dari Universitas Negeri Yogyakarta
Anwar,
Rosihan (1991). Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: Pradnya Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar