Oleh:
eramuslim.net
Prof.
Dr. Mubyarto (Sleman, Yogyakarta, 3 September 1938–Yogyakarta, 24 Mei 2005)
adalah pakar ekonomi kerakyatan Indonesia yang mengajar di Universitas Gadjah
Mada dan dikenal sebagai penggagas konsep Ekonomi Pancasila.
Pendidikan
Mubyarto
lahir di Sleman, Yogyakarta. Masa kecilnya hingga sarjana muda dihabiskan di
Yogyakarta. Selepas dari UGM, Mubyarto melanjutkan pendidikan dan memperoleh
gelar Master of Arts dari Vanderbilt University, Tennessee di tahun 1962 dan
gelar Doctor of Philosophy dari Iowa State University, Iowa di tahun 1965,
keduanya di Amerika Serikat. Gelar Doktor diraihnya dalam usia 27 tahun dengan
mempertahankan disertasi berjudul Elastisitas Surplus Beras yang Dapat
Dipasarkan di Jawa-Madura.
Karir
Profesi
utamanya adalah dosen di Fakultas Ekonomi UGM (1959-2003). Salah satu jabatan
penting di dalam karirnya bersama UGM adalah pada saat menjabat sebagai Kepala
Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK) UGM tahun 1983-1994.
Selama dipimpin oleh Mubyarto, P3PK secara intensif melakukan berbagai
penelitian di bidang perdesaan dengan bekerjasama dengan pemerintah daerah di
seluruh Indonesia. Kemudian pada periode tahun 1987-1999, ia menjadi anggota
MPR. Sejak tahun 2002, dia adalah Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (Pustep)
UGM sampai kemudian meninggal pada tahun 2005. Pustep didirikan oleh UGM
dibawah pimpinan Rektor Sofyan Effendi, untuk mendalami dan mengembangkan
konsep Ekonomi Pancasila yang telah ramai menjadi bahan diskusi utama ekonomi
Indonesia sejak tahun 1980.
Sebagai
birokrat, Mubyarto pernah menjabat sebagai Penasehat Menteri Perdagangan pada
tahun 1968-1971, Asisten Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
1993-1998, dan Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Keuangan, dan
Industri pada tahun yang sama.
Pemikiran
Trilogi
Pembangunan
Sebenarnya
sejak terjadinya peristiwa “Malari” (Malapetaka Januari) 15 Januari 1974,
slogan Trilogi Pembangunan sudah berhasil dijadikan “teori” yang mengoreksi
teori ekonomi pembangunan yang hanya mementingkan pertumbuhan . Trilogi
pembangunan terdiri atas Stabilitas Nasional yang dinamis, Pertumbuhan Ekonomi
Tinggi, dan Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya. Namun sayangnya slogan
yang baik ini justru terkalahkan karena sejak 1973/74 selama 7 tahun Indonesia
di”manja” bonansa minyak yang membuat bangsa Indonesia “lupa daratan”. Rezeki
nomplok minyak bumi yang membuat Indonesia kaya mendadak telah menarik minat
para investor asing untuk ikut “menjarah” kekayaan alam Indonesia. Serbuan para
investor asing ini ketika melambat karena jatuhnya harga minyak dunia ,
selanjutnya dirangsang ekstra melalui kebijakan deregulasi (liberalisasi) pada
tahun-tahun 1983-88. Kebijakan penarikan investor yang menjadi sangat liberal
ini tidak disadari bahkan oleh para teknokrat sendiri sehingga seorang tokoknya
mengaku kecolongan dengan menyatakan:
Dalam
keadaan yang tidak menentu ini pemerintah mengambil tindakan yang berani
menghapus semua pembatasan untuk arus modal yang masuk dan keluar.
Undang-undang Indonesia yang mengatur arus modal, dengan demikian menjadi yang
paling liberal di dunia, bahkan melebihi yang berlaku di negara-negara yang
paling liberal. (Radius Prawiro. 1998:409)
Himbauan
Ekonomi Pancasila
Pada
tahun 1980 Seminar Ekonomi Pancasila dalam rangka seperempat abad FE-UGM
“menghimbau” pemerintah Indonesia untuk berhati-hati dalam memilih dan
melaksanakan strategi pembangunan ekonomi. Ada peringatan “teoritis” bahwa ilmu
ekonomi Neoklasik dari Barat memang cocok untuk menumbuhkembangkan perekonomian
nasional, tetapi tidak cocok atau tidak memadai untuk mencapai pemerataan dan
mewujudkan keadilan sosial. Karena amanah Pancasila adalah mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka ekonom-ekonom UGM melontarkan konsep
Ekonomi Pancasila yang seharusnya dijadikan pedoman mendasar dari setiap
kebijakan pembangunan ekonomi. Jika Emil Salim pada tahun 1966 menyatakan bahwa
dari Pancasila yang relevan dan perlu diacu adalah (hanya) sila terakhir, keadilan
sosial, maka ekonom-ekonom UGM menyempurnakannya dengan mengacu pada kelima-limanya
sebagai berikut:
-
Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh
rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;
-
Ada kehendak kuat warga masyarakat untuk
mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan terjadinya dan
berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial;
-
Semangat nasionalisme ekonomi; dalam era
globalisasi mekin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang
kuat, tangguh, dan mandiri;
-
Demokrasi Ekonomi berdasar kerakyatan dan
kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi
perorangan dan masyarakat;
-
Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil,
antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang
luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju perwujudan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Sebagaimana
terjadi pemerintah Orde Baru yang sangat kuat dan stabil, memilih strategi
pembangunan berpola “konglomeratisme” yang menomorsatukan pertumbuhan ekonomi
tinggi dan hampir-hampir mengabaikan pemerataan. Ini merupakan strategi yang
berakibat pada “bom waktu” yang meledak pada tahun 1997 saat awal reformasi
politik, ekonomi, sosial, dan moral.
Globalisasi
atau Gombalisasi
Dalam
3 buku yang menarik The Globalization of Poverty (Chossudovsky, 1997),
Globalization Unmasked (Petras & Veltmeyer, 2001), dan Globalization and
Its Discontents (Stiglitz, 2002) dibahas secara amat kritis fenomena
globalisasi yang jelas-jelas lebih merugikan negara-negara berkembang yang
justru menjadi semakin miskin (gombalisasi). Mengapa demikian? Sebabnya adalah
bahwa globalisasi tidak lain merupakan pemecahan kejenuhan pasar negara-negara
maju dan mencari tempat-tempat penjualan atau “pembuangan” barang-barang yang
sudah mengalami kesulitan di pasar dalam negeri negara-negara industri maju.
Globalization
is … the outcome of consciously pursued strategy, the political project of a
transnational capitalist class, and formed on the basis of an institutional
structure set up to serve and advance the interest of this class (Petras &
Veltmeyer. 2001: 11)
Indonesia
yang menjadi tuan rumah KTT APEC di Bogor 1994, mengejutkan dunia dengan
keberaniannya menerima jadwal AFTA 2003 dan APEC 2010 dengan menyatakan “siap
tidak siap, suka tidak suka, kita harus ikut globalisasi karena sudah berada di
dalamnya”. Keberanian menerima jadwal AFTA dan APEC ini, kini setelah terjadi
krismon 1997, menjadi bahan perbincangan luas karena dianggap tidak didasarkan
pada gambaran yang realistis atas “kesiapan” perekonomian Indonesia. Maka cukup
mengherankan bila banyak pakar Indonesia menekankan pada keharusan Indonesia
melaksanakan AFTA tahun 2003, karena kita sudah committed. Pemerintah Orde Baru
harus dianggap telah terlalu gegabah menerima kesepakatan AFTA karena
mengandalkan pada perusahaan-perusahaan konglomerat yang setelah terserang krismon
1997 terbukti keropos.
Peran
Negara dalam Program Ekonomi dan Sosial
Meskipun
ada kekecewaan besar terhadap amandemen UUD 1945 dalam ST MPR 2002 yang semula
akan menghapuskan asas kekeluargaan pada pasal 33, yang batal, namun putusan
untuk menghapus seluruh penjelasan UUD sungguh merupakan kekeliruan sangat
serius. Syukur, kekecewaan ini terobati dengan tambahan 2 ayat baru pada pasal
34 tentang pengembangan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
pemberdayaan masyarakat lemah dan tidak mampu (ayat 2), dan tanggungjawab
negara dalam penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan
umum yang layak (ayat 3). Di samping itu pasal 31, yang semula hanya terdiri
atas 2 ayat, tentang pengajaran sangat diperkaya dan diperkuat dengan
penggantian istilah pengajaran dengan pendidikan. Selama itu pemerintah juga
diamanatkan untuk menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang mampu
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk semua itu negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari nilai APBN dan
APBD.
Demikian
jika ketentuan-ketentuan baru dalam penyelenggaraan program-program sosial ini
dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik, sebenarnya otomatis telah terjadi
koreksi total atas sistem perekonomian nasional dan sistem penyelenggaraan
kesejahteraan sosial kita yang tidak lagi liberal dan diserahkan sepenuhnya
pada kekuatan-kekuatan pasar bebas. Penyelenggaraan program-program sosial yang
agresif dan serius yang semuanya dibiayai negara dari pajak-pajak dalam APBN
dan APBD akan merupakan jaminan dan wujud nyata sistem ekonomi Pancasila.
Ekonomi
Rakyat, Ekonomi Kerakyatan, dan Ekonomi Pancasila
Sejak reformasi, terutama sejak SI-MPR 1998, menjadi populer istilah Ekonomi
Kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang harus diterapkan di Indonesia, yaitu
sistem ekonomi yang demokratis yang melibatkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat.
Mengapa ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi rakyat atau ekonomi Pancasila?
Sebabnya adalah karena kata ekonomi rakyat dianggap berkonotasi komunis seperti
di RRC (Republik Rakyat Cina), sedangkan ekonomi Pancasila dianggap telah
dilaksanakan selama Orde Baru yang terbukti gagal.
Pada
bulan Agustus 2002 bertepatan dengan peringatan 100 tahun Bung Hatta, UGM
mengumumkan berdirinya Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) yang akan secara
serius mengadakan kajian-kajian tentang Ekonomi Pancasila dan penerapannya di
Indonesia baik di tingkat nasional maupun di daerah-daerah. Sistem Ekonomi
Pancasila yang bermoral, manusiawi, nasionalistik, demokratis, dan berkeadilan,
jika diterapkan secara tepat pada setiap kebijakan dan program akan dapat
membantu terwujudnya keselarasan dan keharmonisan kehidupan ekonomi dan sosial
masyarakat.
Sistem
Ekonomi Pancasila berisi aturan main kehidupan ekonomi yang mengacu pada
ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila,
pemerintah dan masyarakat memihak pada (kepentingan) ekonomi rakyat sehingga
terwujud kemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah sistem
ekonomi kerakyatan yang demokratis yang melibatkan semua orang dalam proses
produksi dan hasilnya juga dinikmati oleh semua warga masyarakat.
Kehidupan
pribadi
Pada
saat meninggal di tahun 2005, Mubyarto meninggalkan seorang istri, Sri Hartati
Widayati, dan empat orang anak Andianto Hidayat, Tantiarini Hidayati,
Satriyantono Hidayat, dan Dadit Gunarwanto Hidayat, serta sejumlah cucu. Pada
tahun yang sama, Mubyarto telah menyelesaikan tugas utamanya dan memasuki masa
pensiun sebagai Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.
sumber: wikipwdia,ekonomi-rakyat.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar