Biografi
Gus Dur (Abdurrahman
Wahid)
Gus Dur semasa muda
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4
dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di
Denanyar Jombang,
Jawa Timur
dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah.
Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang
digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti
ia lahir pada 4 Sya'ban, sama dengan 7 September
1940.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman
Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang Penakluk".[2]
Kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama
"Wahid", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur.
"Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak
kiai yang berati "abang" atau "mas".[2]
Gus Dur adalah putra pertama dari enam
bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas
Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama
(NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar
pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan[3].
Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam
Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama
tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren
Denanyar Jombang.
Gus Dur secara terbuka pernah
menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa.
Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang
menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah
(Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.[4][5]
Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok
yang merupakan selir Raden Brawijaya V.[5]
Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan
sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.[5]
Pada tahun 1944, Wahid pindah dari
Jombang ke Jakarta,
tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang
berdiri dengan dukungan tentara Jepang
yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia
tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana
selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.
Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk
sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS
sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku
non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya[6].
Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah
tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid
meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikan Wahid berlanjut dan pada
tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik
kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta
untuk meneruskan pendidikannya. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid
pindah ke Magelang untuk memulai
Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai
murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun
(seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren
Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri,
Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya
sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga
dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah
Budaya Jaya.[7]
Pendidikan di luar
negeri
Pada tahun 1963, Wahid menerima
beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo,
Mesir.
Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab,
Gus Dur diberitahu oleh Universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial
sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti
bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas
remedial.[8]
Abdurrahman Wahid menikmati hidup di
Mesir pada tahun 1964; menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton sepak bola.
Wahid juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis
majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial
Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965,
Gus Dur kecewa. Ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak
metode belajar yang digunakan Universitas [9].
Di Mesir, Wahid dipekerjakan di
Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September terjadi. Mayor
Jendral Suharto
menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan Komunis dilakukan. Sebagai
bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan
untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan
kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Wahid, yang ditugaskan
menulis laporan [10].
Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia
tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G 30 S sangat
mengganggu dirinya.[11]
Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar.[11]
Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad.[12]
Wahid pindah ke Irak
dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan
cepat belajar. Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar
Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di
Universitas Baghdad tahun 1970, Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk
meneruskan pendidikannya. Wahid ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa
karena pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui.[13]
Dari Belanda, Wahid pergi ke Jerman
dan Perancis
sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.
Karir awal
Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan
bahwa ia akan pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill di Kanada.
Ia membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) [14],
organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial
demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang disebut Prisma dan Wahid menjadi
salah satu kontributor utama majalah tersebut. Selain bekerja sebagai
kontributor LP3ES, Wahid juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh
Jawa. Pada saat itu, pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari
pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Wahid merasa prihatin
dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur
akibat perubahan ini. Gus Dur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren yang ia
lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi
kurikulum pemerintah, pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan
dan membantu pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Wahid memilih
batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.
Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya
sebagai jurnalis, menulis untuk majalah Tempo
dan koran Kompas. Artikelnya diterima
dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial.
Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah
dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat
Wahid tinggal bersama keluarganya.
Meskipun memiliki karir yang sukses
pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber
pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual
kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin
istrinya [15].
Pada tahun 1974, Wahid mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di
Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun
kemudian, Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.
Pada tahun 1977, Wahid bergabung ke
Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam.
Sekali lagi, Wahid mengungguli pekerjaannya dan Universitas ingin agar Wahid
mengajar subyek tambahan seperti pedagogi,
syariat Islam dan misiologi.
Namun, kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian kalangan
universitas dan Wahid mendapat rintangan untuk mengajar subyek-subyek tersebut.
Sementara menanggung semua beban tersebut, Wahid juga berpidato selama ramadhan
di depan komunitas Muslim di Jombang.
Nahdlatul Ulama
Awal keterlibatan
Latar belakang keluarga Wahid segera
berarti. Ia akan diminta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU.
Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual
publik dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama
NU. Namun, Wahid akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya,
Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga [16].
Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga memilih untuk pindah dari Jombang ke
Jakarta dan menetap di sana. Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama, Wahid
memimpin dirinya sebagai reforman NU.
Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga
mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982,
Wahid berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam
termasuk NU. Wahid menyebut bahwa Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan
menangkap orang seperti dirinya [17].
Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang
penting seperti Jendral Benny Moerdani.
Mereformasi NU
Pada saat itu, banyak orang yang
memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan stagnasi/terhenti. Setelah
berdiskusi, Dewan Penasehat Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh (yang termasuk
Wahid) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU.
Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan keketuaan. Pada 2 Mei 1982,
pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid
dan meminta agar ia mengundurkan diri. Idham, yang telah memandu NU pada era
transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto
awalnya melawan, tetapi akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Wahid
mendengar pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu ia berkata bahwa
permintaan mundur tidak konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham
membatalkan kemundurannya dan Wahid bersama dengan Tim Tujuh dapat
menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya [18].
Pada tahun 1983, Soeharto dipilih
kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) dan mulai mengambil langkah untuk menjadikan Pancasila
sebagai Ideologi Negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Wahid menjadi
bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu
tersebut. Wahid berkonsultasi dengan bacaan seperti Quran
dan Sunnah
untuk pembenaran dan akhirnya, pada Oktober 1983, ia menyimpulkan bahwa NU
harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara [19].
Untuk lebih menghidupkan kembali NU, Wahid juga mengundurkan diri dari PPP dan
partai politik. Hal ini dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial
daripada terhambat dengan terlibat dalam politik.
Terpilih sebagai
ketua dan masa jabatan pertama
Reformasi Wahid membuatnya sangat
populer di kalangan NU. Pada saat Musyawarah Nasional 1984, banyak orang yang
mulai menyatakan keinginan mereka untuk menominasikan Wahid sebagai ketua baru
NU. Wahid menerima nominasi ini dengan syarat ia mendapatkan wewenang penuh
untuk memilih para pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Wahid terpilih
sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional
tersebut. Namun demikian, persyaratannya untuk dapat memilih sendiri para
pengurus di bawahnya tidak terpenuhi. Pada hari terakhir Munas, daftar anggota
Wahid sedang dibahas persetujuannya oleh para pejabat tinggu NU termasuk Ketua
PBNU sebelumnya, Idham Chalid. Wahid sebelumnya
telah memberikan sebuah daftar kepada Panitia Munas yang sedianya akan
diumumkan hari itu. Namun demikian, Panitia Munas, yang bertentangan dengan
Idham, mengumumkan sebuah daftar yang sama sekali berbeda kepada para peserta
Munas.[20]
Terpilihnya Gus Dur dilihat positif
oleh Suharto
dan rezim Orde Baru. Penerimaan Wahid
terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya disukai oleh
pejabat pemerintahan. Pada tahun 1985, Suharto menjadikan Gus Dur indoktrinator
Pancasila.[21]
Pada tahun 1987, Abdurrahman Wahid menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap
rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan
memperkuat Partai Golkar
Suharto. Ia kemudian menjadi anggota MPR mewakili Golkar. Meskipun ia disukai
oleh rezim, Wahid mengkritik pemerintah karena proyek Waduk Kedung Ombo
yang didanai oleh Bank Dunia.[22]
Hal ini merenggangkan hubungan Wahid dengan pemerintah, namun saat itu Suharto
masih mendapat dukungan politik dari NU.
Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur
fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan
kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.[23]
Pada tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo,
Jawa Timur untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk
mendiskusikan dan menyediakan interpretasi teks Muslim.[24]
Gus Dur pernah pula menghadapi kritik bahwa ia mengharapkan mengubah salam Muslim
"assalamualaikum" menjadi salam sekular "selamat pagi".[25]
Masa jabatan kedua
dan melawan Orde Baru
Wahid terpilih kembali untuk masa
jabatan kedua Ketua NU pada Musyawarah Nasional 1989. Pada saat itu, Soeharto,
yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI,
mulai menarik simpati Muslim untuk mendapat dukungan mereka. Pada Desember
1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI) dibentuk untuk menarik hati Muslim Intelektual. Organisasi ini didukung
oleh Soeharto, diketuai oleh Baharuddin Jusuf Habibie dan di dalamnya
terdapat intelektual Muslim seperti Amien Rais
dan Nurcholish Madjid sebagai anggota.
Pada tahun 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung. Gus Dur
menolak karena ia mengira ICMI mendukung sektarianisme
dan akan membuat Soeharto tetap kuat.[26]
Pada tahun 1991, Wahid melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi,
organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius
dan sosial. Organisasi ini diperhitungkan oleh pemerintah dan pemerintah
menghentikan pertemuan yang diadakan oleh Forum Demokrasi saat menjelang pemilihan umum
legislatif 1992.
Pada Maret 1992, Gus Dur berencana
mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang
pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu
dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi
acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU
ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000
orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan
bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan
toleran.[27]
Selama masa jabatan keduanya sebagai ketua NU, ide liberal Gus Dur mulai
mengubah banyak pendukungnya menjadi tidak setuju. Sebagai ketua, Gus Dur terus
mendorong dialog antar agama dan bahkan menerima undangan mengunjungi Israel
pada Oktober 1994.[28]
Masa jabatan ketiga
dan menuju reformasi
Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus
Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu,
Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas,
pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko
berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional
diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI
dalam tindakan intimidasi.[29]
Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur
tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus
Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia
(PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar
dan berencana tetap menekan rezim Soeharto. Wahid menasehati Megawati untuk
berhati-hati dan menolak dipilih sebagai Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998.
Megawati mengacuhkannya dan harus membayar mahal ketika pada Juli 1996 markas
PDInya diambil alih oleh pendukung Ketua PDI yang didukung pemerintah,
Soerjadi.
Melihat apa yang terjadi terhadap
Megawati, Gus Dur berpikir bahwa pilihan terbaiknya sekarang adalah mundur
secara politik dengan mendukung pemerintah. Pada November 1996, Wahid dan
Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua
NU dan beberapa bulan berikutnya diikuti dengan pertemuan dengan berbagai tokoh
pemerintah yang pada tahun 1994 berusaha menghalangi pemilihan kembali Gus Dur.[30]
Pada saat yang sama, Gus Dur membiarkan pilihannya untuk melakukan reformasi
tetap terbuka dan pada Desember 1996 bertemu dengan Amien Rais,
anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Juli 1997 merupakan awal dari Krisis Finansial Asia. Soeharto mulai
kehilangan kendali atas situasi tersebut. Gus Dur didorong untuk melakukan
reformasi dengan Megawati dan Amien, namun ia terkena stroke
pada Januari 1998. Dari rumah sakit, Wahid melihat situasi terus memburuk
dengan pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden dan protes mahasiswa yang
menyebabkan terjadinya kerusuhan Mei 1998 setelah penembakan
enam mahasiswa di Universitas Trisakti. Pada tanggal 19 Mei
1998, Gus Dur, bersama dengan delapan pemimpin penting dari komunitas Muslim,
dipanggil ke kediaman Soeharto. Soeharto memberikan konsep Komite Reformasi
yang ia usulkan. Sembilan pemimpin tersebut menolak untuk bergabung dengan
Komite Reformasi. Gus Dur memiliki pendirian yang lebih moderat dengan Soeharto
dan meminta demonstran berhenti untuk melihat apakah Soeharto akan menepati
janjinya.[31]
Hal tersebut tidak disukai Amien, yang merupakan oposisi Soeharto yang paling
kritis pada saat itu. Namun, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada
tanggal 21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan
Soeharto.
Reformasi
Pembentukan PKB dan
Pernyataan Ciganjur
Salah satu dampak jatuhnya Soeharto
adalah pembentukan partai politik baru. Di bawah rezim Soeharto, hanya terdapat
tiga pertai politik: Golkar, PPP dan PDI. Dengan jatuhnya Soeharto,
partai-partai politik mulai terbentuk, dengan yang paling penting adalah Partai Amanat Nasional (PAN) bentukan Amien
dan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan
(PDI-P) bentukan Megawati. Pada Juni 1998, banyak orang dari komunitas NU
meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. Ia tidak langsung
mengimplementasikan ide tersebut. Namun pada Juli 1998 Gus Dur mulai menanggapi
ide tersebut karena mendirikan partai politik merupakan satu-satunya cara untuk
melawan Golkar dalam pemilihan umum. Wahid menyetujui pembentukan PKB dan
menjadi Ketua Dewan Penasehat dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai.
Meskipun partai tersebut didominasi anggota NU, Gus Dur menyatakan bahwa partai
tersebut terbuka untuk semua orang.
Pada November 1998, dalam pertemuan di
Ciganjur, Gus Dur, bersama dengan Megawati, Amien, dan Sultan Hamengkubuwono X
kembali menyatakan komitmen mereka untuk reformasi. Pada 7 Februari 1999, PKB
secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden.
Pemilu 1999 dan
Sidang Umum MPR
Amien Rais dan Gus Dur pada Sidang Umum MPR
Pada
Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan
12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya,
Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum
MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi
dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros
Tengah, koalisi partai-partai Muslim.[32]
Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan
presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada
7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi menyatakan Abdurrahman
Wahid sebagai calon presiden.[33]
Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia
mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung,
ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan
Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan
mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai
Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.[34]
Tidak
senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati
mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil
presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto
untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung
Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21
Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan
mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.
Kepresidenan
Tahun 1999
Kabinet
pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional,
adalah kabinet koalisi yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P,
PKB, Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI juga ada
dalam kabinet tersebut. Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi
pemerintahan. Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan,
senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media. Reformasi kedua adalah
membubarkan Departemen Sosial yang korup.[35]
Pada
November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN,
Jepang,
Amerika Serikat, Qatar,
Kuwait,
dan Yordania.
Setelah itu, pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Cina.[36]
Setelah
satu bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri Menteri Koordinator
Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz mengumumkan pengunduran
dirinya pada bulan November. Muncul dugaan bahwa pengunduran dirinya
diakibatkan karena Gus Dur menuduh beberapa anggota kabinet melakukan korupsi
selama ia masih berada di Amerika Serikat.[35]
Beberapa menduga bahwa pengunduran diri Hamzah Haz diakibatkan karena
ketidaksenangannya atas pendekatan Gus Dur dengan Israel
[37].
Rencana
Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum ini menentukan
otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur.
Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan
mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Pada 30
Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura
di provinsi Irian Jaya. Selama kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil
meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.[38]
2000
Abdurrahman Wahid di Forum Ekonomi Dunia tahun 2000
Pada
Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan ke luar negeri lainnya ke Swiss
untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi
dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Wahid melakukan
perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris,
Perancis,
Belanda,
Jerman,
dan Italia.
Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga mengunjungi India,
Korea Selatan, Thailand,
dan Brunei Darussalam. Pada bulan Maret,
Gus Dur mengunjungi Timor Leste. Di bulan April,
Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan
menuju Kuba
untuk menghadiri pertemuan G-77,
sebelum kembali melewati Kota Meksiko
dan Hong Kong.
Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis
dengan Iran,
Pakistan,
dan Mesir
sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.[39]
Ketika
Gus Dur berkelana ke Eropa pada bulan Februari, ia mulai meminta Jendral Wiranto
mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan.
Gus Dur melihat Wiranto sebagai halangan terhadap rencana reformasi militer dan
juga karena tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur terhadap Wiranto.[40]
Ketika
Gus Dur kembali ke Jakarta, Wiranto berbicara dengannya dan berhasil meyakinkan
Gus Dur agar tidak menggantikannya. Namun, Gus Dur kemudian mengubah pikirannya
dan memintanya mundur. Pada April 2000, Gus Dur memecat Menteri Negara
Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla
dan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi.
Alasan yang diberikan Wahid adalah bahwa keduanya terlibat dalam kasus korupsi,
meskipun Gus Dur tidak pernah memberikan bukti yang kuat.[41]
Hal ini memperburuk hubungan Gus Dur dengan Golkar dan PDI-P.
Pada
Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan
kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman
dengan GAM hingga awal tahun 2001, saat kedua penandatangan akan melanggar
persetujuan.[42]
Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang
Marxisme-Leninisme dicabut.[43]
Ia
juga berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan kemarahan pada
kelompok Muslim Indonesia.[44]
Isu ini diangkat dalam pidato Ribbhi Awad, duta besar Palestina untuk
Indonesia, kepada parlemen Palestina tahun 2000. Isu lain yang muncul adalah
keanggotaan Gus Dur pada Yayasan Shimon Peres.
Baik Gus Dur dan menteri luar negerinya Alwi Shihab
menentang penggambaran Presiden Indonesia yang tidak tepat, dan Alwi meminta
agar Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, diganti.[45]
Dalam
usaha mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik,
Gus Dur menemukan sekutu, yaitu Agus Wirahadikusumah, yang diangkatnya
menjadi Panglima Kostrad pada bulan Maret.
Pada Juli 2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma Putra,
yayasan yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI
mulai menekan Wahid untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan
tersebut, tetapi berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Petinggi TNI merespon dengan mengancam untuk pensiun, sehingga Gus Dur kembali
harus menurut pada tekanan.[46]
Hubungan
Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika Laskar Jihad tiba di Maluku
dan dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke Maluku untuk membantu orang
Muslim dalam konflik dengan orang Kristen. Wahid meminta TNI menghentikan aksi
Laskar Jihad, namun mereka tetap berhasil mencapai Maluku dan dipersenjatai
oleh senjata TNI.[47]
Muncul
pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada
bulan Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG) melaporkan
bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus
Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang.[48]
Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam
skandal ini. Skandal ini disebut skandal Buloggate. Pada waktu yang sama, Gus
Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu
merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur
gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.
Sidang
Umum MPR 2000 hampir tiba, popularitas Gus Dur masih tinggi. Sekutu Wahid
seperti Megawati, Akbar dan Amien masih mendukungnya meskipun terjadi berbagai
skandal dan pencopotan menteri. Pada Sidang Umum MPR, pidato Gus Dur diterima
oleh mayoritas anggota MPR. Selama pidato, Wahid menyadari kelemahannya sebagai
pemimpin dan menyatakan ia akan mewakilkan sebagian tugas.[49]
Anggota MPR setuju dan mengusulkan agar Megawati menerima tugas tersebut. Pada
awalnya MPR berencana menerapkan usulan ini sebagai TAP MPR, akan tetapi
Keputusan Presiden dianggap sudah cukup. Pada 23 Agustus, Gus Dur mengumumkan
kabinet baru meskipun Megawati ingin pengumuman ditunda. Megawati menunjukan
ketidaksenangannya dengan tidak hadir pada pengumuman kabinet. Kabinet baru
lebih kecil dan meliputi lebih banyak non-partisan. Tidak terdapat anggota
Golkar dalam kabinet baru Gus Dur.
Pada
September, Gus Dur menyatakan darurat militer
di Maluku karena kondisi di sana semakin memburuk. Pada saat itu semakin jelas
bahwa Laskar Jihad didukung oleh anggota TNI dan juga kemungkinan didanai oleh
Fuad Bawazier, menteri keuangan terakhir Soeharto. Pada bulan yang sama,
bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera
bintang kejora dikibarkan asalkan berada di bawah bendera Indonesia.[50]
Ia dikritik oleh Megawati dan Akbar karena hal ini. Pada 24 Desember 2000,
terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja
di Jakarta dan delapan kota lainnya di seluruh Indonesia.
Pada
akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang kecewa dengan Abdurrahman
Wahid. Orang yang paling menunjukan kekecewaannya adalah Amien. Ia menyatakan
kecewa mendukung Gus Dur sebagai presiden tahun lalu. Amien juga berusaha
mengumpulkan oposisi dengan meyakinkan Megawati dan Gus Dur untuk merenggangkan
otot politik mereka. Megawati melindungi Gus Dur, sementara Akbar menunggu
pemilihan umum legislatif tahun 2004. Pada akhir November, 151 DPR
menandatangani petisi yang meminta pemakzulan
Gus Dur.[51]
2001 dan akhir kekuasaan
Pada
Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari
libur opsional.[52]
Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Gus
Dur lalu mengunjungi Afrika Utara dan juga Arab Saudi untuk naik haji.[53]
Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai
presiden pada Juni 2001 ketika ia mengunjungi Australia.
Pada
pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur
menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme.
Ia lalu mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi.[54]
Pertempuan tersebut menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu
untuk mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya
Sidang Khusus MPR dimana pemakzulan Presiden dapat dilakukan. Anggota PKB hanya
bisa walk out dalam menanggapi hal ini. Nota ini juga menimbulkan protes
di antara NU. Di Jawa Timur, anggota NU melakukan protes di sekitar kantor
regional Golkar. Di Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya mendorong protes
tersebut. Gus Dur membantah dan pergi untuk berbicara dengan demonstran di Pasuruan.[55].
Namun, demonstran NU terus menunjukan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada
bulan April mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai
presiden hingga mati.
Pada
bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden pada
kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet
karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur.[56]
Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail
juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam
pengambilan kebijakan, dan diangap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan,[57]
yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam
menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak hadir dalam
inagurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan
meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus.
Gus
Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan
Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan
keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari
jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada
tanggal 1 Juli 2009.[58]
Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan
dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga
menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan
kekuatan.[59].
Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit
yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan
rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar[60]
sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut
tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus
Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.[61]
Abdurrahman Wahid terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal
di Istana Negara selama beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal 25 Juli ia
pergi ke Amerika Serikat karena masalah kesehatan.[62]
Aktivitas setelah kepresidenan
Perpecahan pada tubuh
PKB
Sebelum Sidang Khusus MPR, anggota PKB
setuju untuk tidak hadir sebagai lambang solidaritas. Namun, Matori Abdul Djalil, ketua PKB,
bersikeras hadir karena ia adalah Wakil Ketua MPR. Dengan posisinya sebagai
Kepala Dewan Penasehat, Gus Dur menjatuhkan posisi Matori sebagai Ketua PKB
pada tanggal 15 Agustus 2001 dan melarangnya ikut serta dalam aktivitas partai
sebelum mencabut keanggotaan Matori pada bulan November.[63]
Pada tanggal 14 Januari 2002, Matori mengadakan Munas Khusus yang dihadiri oleh
pendukungnya di PKB. Munas tersebut memilihnya kembali sebagai ketua PKB. Gus
Dur membalasnya dengan mengadakan Munasnya sendiri pada tanggal 17 Januari,
sehari setelah Munas Matori selesai[64]
Musyawarah Nasional memilih kembali Gus Dur sebagai Ketua Dewan Penasehat dan Alwi Shihab
sebagai Ketua PKB. PKB Gus Dur lebih dikenal sebagai PKB Kuningan sementara PKB
Matori dikenal sebagai PKB Batutulis.
Pemilihan umum 2004
Pada April 2004, PKB berpartisipasi
dalam Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2004, memperoleh 10.6%
suara. Untuk Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004, dimana rakyat akan
memilih secara langsung, PKB memilih Wahid sebagai calon presiden. Namun, Gus
Dur gagal melewati pemeriksaan medis sehingga Komisi Pemilihan Umum menolak memasukannya
sebagai kandidat. Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan pasangan
dari Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto dan Solahuddin kalah dalam pemilu.
Untuk pemilihan kedua antara pasangan Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi,
Gus Dur menyatakan golput.
Oposisi terhadap
pemerintahan SBY
Pada Agustus 2005, Gus Dur menjadi
salah satu pemimpin koalisi politik yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit
Bersatu. Bersama dengan Try Sutrisno,
Wiranto,
Akbar Tanjung dan Megawati,
koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,
terutama mengenai pencabutan subsidi BBM yang akan menyebabkan naiknya harga
BBM.
Kehidupan pribadi
Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah dan
dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah
Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah
Wulandari. Yenny juga aktif berpolitik di Partai Kebangkitan Bangsa
dan saat ini adalah direktur The Wahid Institute.
Kematian
Gus Dur menderita banyak penyakit,
bahkan sejak ia mulai menjabat sebagai presiden. Ia menderita gangguan
penglihatan sehingga seringkali surat dan buku yang harus dibaca atau
ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan oleh orang lain. Beberapa kali ia
mengalami serangan strok.
Diabetes
dan gangguan ginjal
juga dideritanya. Ia wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta,
pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit tersebut, yang dideritanya
sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis
(cuci darah) rutin. Menurut Salahuddin Wahid
adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan pada arteri.[65]
Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang
seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.[66]
Penghargaan
Pada tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, sebuah penghargaan
yang cukup prestisius untuk kategori Community Leadership. [67]
Wahid ditahbiskan sebagai "Bapak
Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa
Semarang
di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan
pada tanggal 10 Maret 2004.[5]
Pada 11 Agustus
2006,
Gadis Arivia
dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI
sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006.[68]
Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen
(AJI). Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam
memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan
demokrasi di Indonesia. Gus Dur dan Gadis dipilih oleh dewan juri yang terdiri
dari budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin redaksi The Jakarta Post
Endy Bayuni,
dan Ketua Komisi Nasional Perempuan
Chandra Kirana.
Mereka berhasil menyisihkan 23 kandidat lain. Penghargaan Tasrif Award bagi Gus
Dur menuai protes dari para wartawan yang hadir dalam acara jumpa pers itu.[69]
Seorang wartawan mengatakan bahwa hanya karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti
Pornoaksi dan Pornografi, ia menerima penghargaan tersebut. Sementara wartawan
lain seperti Ati Nurbaiti,
mantan Ketua Umum AJI Indonesia dan wartawan The Jakarta Post
membantah dan mempertanyakan hubungan perjuangan Wahid menentang RUU APP dengan
kebebasan pers.[69]
Ia mendapat penghargaan dari Simon
Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia.
Wahid mendapat penghargaan tersebut karena menurut mereka ia merupakan salah
satu tokoh yang peduli terhadap persoalan HAM.[70][71]
Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los
Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas, salah
satunya dalam membela umat beragama Konghucu
di Indonesia dalam memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung selama era orde baru.[70]
Wahid juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple. Namanya diabadikan
sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.[70]
Doktor kehormatan
Gus Dur juga banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan
(Doktor Honoris Causa) dari berbagai lebaga pendidikan:
-
Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan
Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris,
Prancis
(2000)[72]
-
Doktor Kehormatan dari Universitas Sun
Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)
Catatan
kaki
- "Gus Dur Wafat", 30 Desember 2009. Diakses
pada 30 Desember 2009.
- a b Latar belakang keluarga Gus Dur, GusDur.net
- Barton (2002), halaman 38-40.
- Jangan Malu Jadi Tionghoa, Gus Dur Mengaku Keturuan. Surya Online. Diakses pada 19 Juni
- a b c d Qurtuby, Sumanto Gus Dur, Tionghoa, Indonesia. Suara Merdeka.
Diakses pada 19 Juni
- Barton (2002), halaman 49
- Barton (2002), Biografi Gus Dur,
LKiS, halaman 92
- Barton (2002), Biografi Gus Dur,
LKiS, halaman 88
- Barton (2002), halaman 88
- Barton (2002), halaman 89
- a b Barton (2002), Biografi Gus
Dur, LKiS, halaman 99
- Barton (2002), Biografi Gus Dur,
LKiS, halaman 102
- Barton (2002), Biografi Gus Dur,
LKiS, halaman 111
- Barton, halaman 103
- Barton, halaman 108
- Barton (2002), halaman 112
- Barton (2002), halaman 133-134
- Barton (2002), halaman 136
- Barton, halaman 138
- Barton, halaman 143
- Barton (2002), halaman 153-154
- Barton (2002), Biografi Gus Dur,
LKiS, halaman 188-189
- Barton, halaman 162
- Barton, halaman 165-166
- Barton (2002), Biografi Gus Dur,
LKiS, halaman 189
- Barton (2002), halaman 183
- Barton, halaman 187
- Barton (2002), halaman 198
- Barton (2002), halaman 203
- Barton (2002), halaman 221-222
- Barton (2002), halaman 243
- Barton (2002), halaman 275
- Barton, halaman 281
- Conceicao, J.F. (2005). Indonesia's
Six Years of Living Dangerously. Singapore: Horizon Books, 9. ISBN 981-05-2307-6.
- a b Barton, halaman 290
- Barton (2002), halaman 288-290
- Conceicao, J.F (2005). Indonesia's
Six Years of Living Dangerously. Singapore: Horizon Books, 15. ISBN 981-05-2307-6.
- Barton, halaman 293
- Barton (2002), halaman 294, hal.
297-298, hal.308
- Conceicao, J.F (2005). Indonesia's
Six Years of Living Dangerously. Singapore: Horizon Books, 18. ISBN 981-05-2307-6.
- Barton (2002), halaman 302
- Conceicao, J.F (2005). Indonesia's
Six Years of Living Dangerously. Singapore: Horizon Books, 30-31. ISBN 981-05-2307-6.
- Dari Secangkir Kopi ke Hawa Nafsu. Kompas.
Diakses pada 30 Desember 2006
- Wahid's Move on Trade Stirs Up Nationalism Among Muslims. New York Times. Diakses pada 25 Juni 2009
- Palestinian Ambassador Should Be Replaced. Jakarta Post. Diakses pada 25 Juni 2009
- Conceicao, J.F (2005). Indonesia's
Six Years of Living Dangerously. Singapore: Horizon Books, 21. ISBN 981-05-2307-6.
- Barton (2002), halaman 306
- Barton (2002), halaman 304
- Barton (2002), halaman 320
- Barton (2002), halaman 340
- Barton (2002), halaman 345
- Chang, Yau Hoon How to be Chinese. Inside
Indonesia. Diakses pada 31 Desember 2006
- Barton (2002), halaman 352
- Barton (2002), halaman 348
- Barton (2002), halaman 351-352
- 2 Pebruari 2001, "Yusril Ihza Minta Gus Dur Mundur", Gatra.com
- 17 Maret 2001, "Presiden: Dia Memenuhi Tiga Kriteria", Tempointeraktif.com
- 1 Juni 2001, "Gus Dur Copot Lima Anggota Kabinetnya", Gatra.com
- Barton (2002), halaman 363
- 23 Juli 2001, "MPR/DPR dan Golkar Dibekukan dan Pemilu Dipercepat", Tempointeraktif.com
- 23 Juli 2001, "Megawati Resmi Menjadi Presiden Indonesia", Tempointeraktif.com
- 27 Juli 2001, "Kepergian Abdurrahman Diiringi Massa Pendukung", Liputan6.com
- Tempointeraktif.com - Matori Dipecat dari PKB
- UTAMA
- Ninik Karmini. Former Indonesian president Wahid dies at 69. yahoonews dari AP edisi 30-12-2009.
- Syaiful Anri. Kesehatan Gus Dur Ambruk di Jombang. Liputan6 Online edisi 30-12-2009.
- http://www.rmaf.org.ph/Awardees/Citation/CitationWahidAbd.htm
- Gus Dur dan Gadis Arivia Raih Tasrif Award-AJI 2006, detik.com
- a b Tasrif Award Buat Gus Dur Menuai
Protes. KapanLagi.com. Diakses pada 19 Juni
- a b c Gus Dur Raih Tiga Penghargaan Internasional. Okezone. Diakses pada 19 Juni
- Terima Penghargaan, Gus Dur Terbang ke AS. detik.com. Diakses pada 19 Juni
- a b c d e f Islam dan Demokrasi. Rijal
Mumazziq Z. Surabaya Post. Diakses pada 22 November
- President Wahid van Indonesikrijgt eredoctoraat van de Universiteit
Twente. Persberichten Universiteit
Twente. Diakses pada 26 Januari
- Terima Doktor HC dari Universitas Israel. Suara Merdeka. Diakses pada 26 Juni
Daftar pustaka
-
Barton, Greg (2002). Abdurrahman
Wahid: Muslim Democrat, Indonesian President. Singapore: UNSW Press. ISBN 0-86840-405-5.
-
Barton, Greg (2002). Biografi Gus
Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKiS. ISBN
978-979-3381-25-1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar