Biografi
Sutan Syahrir
Sutan
Syahrir atau juga dieja sebagai Soetan
Sjahrir (lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat,
5 Maret
1909 – meninggal
di Zürich,
Swiss,
9 April
1966
pada umur 57 tahun) adalah seorang politikus dan perdana menteri
pertama Indonesia.
Ia menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia
dari 14 November
1945
hingga 20 Juni
1947.
Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia
pada tahun 1948.
Ia meninggal dalam pengasingan sebagai tawanan politik dan dimakamkan di TMP Kalibata,
Jakarta.
Riwayat
Syahrir
lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar
Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam.
[1]
Ayahnya menjabat sebagai penasehat sultan Deli dan kepala jaksa (landraad)
di Medan.
Syahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, aktivis serta
wartawan wanita yang terkemuka.
Syahrir
mengenyam sekolah dasar (ELS)
dan sekolah menengah (MULO)
terbaik di Medan,
dan membetahkannya bergaul dengan berbagai buku-buku asing dan ratusan novel
Belanda. Malamnya dia mengamen di Hotel de Boer, hotel khusus untuk
tamu-tamu kulit putih.
Pada
1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung,
sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Di sekolah
itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai
sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk
membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya
Universitas Rakyat.
Di
kalangan siswa sekolah menengah (AMS) Bandung, Syahrir menjadi seorang bintang.
Syahrir bukanlah tipe siswa yang hanya menyibukkan diri dengan buku-buku
pelajaran dan pekerjaan rumah. Ia aktif dalam klub debat di sekolahnya. Syahrir
juga berkecimpung dalam aksi pendidikan melek huruf secara gratis bagi
anak-anak dari keluarga tak mampu dalam Tjahja Volksuniversiteit.
Aksi
sosial Syahrir kemudian menjurus jadi politis. Ketika para pemuda masih terikat
dalam perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada 20 Februari 1927, Syahrir
termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis,
Jong Indonesie. Perhimpunan itu kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia
yang menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia. Kongres monumental
yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.
Sebagai
siswa sekolah menengah, Syahrir sudah dikenal oleh polisi Bandung sebagai
pemimpin redaksi majalah himpunan pemuda nasionalis. Dalam kenangan seorang
temannya di AMS, Syahrir kerap lari digebah polisi karena membandel membaca
koran yang memuat berita pemberontakan PKI 1926; koran yang ditempel pada papan
dan selalu dijaga polisi agar tak dibaca para pelajar sekolah.
Syahrir
melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas
Amsterdam, Leiden.
Di sana, Syahrir mendalami sosialisme. Secara sungguh-sungguh ia berkutat
dengan teori-teori sosialisme. Ia akrab dengan Salomon Tas, Ketua Klub
Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak dinikahi
Syahrir, meski sebentar. (Kelak Syahrir menikah kembali dengan Poppy,
kakak tertua dari Soedjatmoko dan Miriam Boediardjo).
Dalam
tulisan kenangannya, Salomon Tas berkisah perihal Syahrir yang mencari
teman-teman radikal, berkelana kian jauh ke kiri, hingga ke kalangan anarkis
yang mengharamkan segala hal berbau kapitalisme dengan bertahan
hidup secara kolektif –saling berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi. Demi
lebih mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Syahrir pun bekerja
pada Sekretariat Federasi Buruh
Transportasi Internasional.
Selain
menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan
Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta.
Di awal 1930, pemerintah Hindia Belanda kian bengis terhadap organisasi
pergerakan nasional, dengan aksi razia dan memenjarakan pemimpin pergerakan di
tanah air, yang berbuntut pembubaran Partai Nasional Indonesia
(PNI) oleh aktivis PNI sendiri. Berita tersebut menimbulkan kekhawatiran di
kalangan aktivis PI di Belanda. Mereka selalu menyerukan agar pergerakan jangan
jadi melempem lantaran pemimpinnya dipenjarakan. Seruan itu mereka sampaikan
lewat tulisan. Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat,
majalah milik Pendidikan Nasional
Indonesia, dan memisikan pendidikan rakyat harus
menjadi tugas utama pemimpin politik. "Pertama-tama, marilah kita
mendidik, yaitu memetakan jalan menuju kemerdekaan," katanya.
Pengujung
tahun 1931, Syahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali ke tanah air dan
terjun dalam pergerakan nasional. Syahrir segera bergabung dalam organisasi Pendidikan
Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Juni 1932 diketuainya. Pengalaman
mencemplungkan diri dalam dunia proletar ia praktekkan di tanah air. Syahrir
terjun dalam pergerakan buruh. Ia memuat banyak tulisannya tentang perburuhan
dalam Daulat Rakyat. Ia juga kerap berbicara perihal pergerakan buruh dalam
forum-forum politik. Mei 1933,
Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Hatta
kemudian kembali ke tanah air pada Agustus 1932, segera pula ia memimpin PNI
Baru. Bersama Hatta, Syahrir mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi pencetak
kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belanda,
gerakan politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal tinimbang
Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. PNI Baru, menurut
polisi kolonial, cukup sebanding dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi
massa dan agitasi; secara cerdas, lamban namun pasti, PNI Baru mendidik
kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya.
Karena
takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah
kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Syahrir, Hatta, dan
beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven Digul. Hampir setahun
dalam kawasan malaria di Papua itu, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Banda Neira
untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.
Masa
pendudukan Jepang
Sementara
Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Syahrir membangun
jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Syahrir yakin Jepang tak mungkin
memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri
untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan
bawah tanah kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan
pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif.
Sastra,
seorang tokoh senior pergerakan buruh yang akrab dengan Syahrir, menulis: “Di
bawah kepemimpinan Syahrir, kami bergerak di bawah tanah, menyusun kekuatan
subjektif, sambil menunggu perkembangan situasi objektif dan tibanya saat-saat
psikologis untuk merebut kekuasaan dan kemerdekaan.”
Situasi
objektif itu pun makin terang ketika Jepang makin terdesak oleh pasukan Sekutu.
Syahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi
mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Kala itu, semua radio tak
bisa menangkap berita luar negeri karena disegel oleh Jepang. Berita-berita
tersebut kemudian ia sampaikan ke Hatta. Sembari itu, Syahrir menyiapkan
gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang.
Syahrir
yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan
kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah menyerah, Syahrir siap dengan
massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan sebagai
simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita
menyerahnya Jepang, tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan
dari pihak Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai
prosedur lewat keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang
dibentuk oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan diproklamasikan
pada 24 September 1945.
Sikap
Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab sikap itu berisiko
kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepang dan RI adalah bikinan Jepang. Guna
mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16
Agustus. Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17
Agustus.
Masa
Revolusi Nasional Indonesia
Revolusi
menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir
jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis
meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan
pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan
Malaka dan Sutan Syahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril
dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian
bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik.
Di
masa genting itu, Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah
peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik
dunia usai Perang Dunia II. Perjungan Kita muncul menyentak kesadaran.
Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia
di tengah badai revolusi.
Tulisan-tulisan
Syahrir dalam Perjuangan Kita,
membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat
terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Syahrir justru menulis, "Tiap
persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental.
Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci.
Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak
pergerakan."
Dan
dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas
solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar
kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa
Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan.
Perjuangan
Kita adalah karya terbesar Syahrir, kata
Salomon Tas, bersama surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul
dan Bandaneira.
Manuskrip itu disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai,
"Satu-satunya usaha untuk menganalisa secara sistematis kekuatan domestik
dan internasional yang memperngaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif
yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan di masa depan."
Terbukti
kemudian, pada November ’45 Syahrir didukung pemuda dan ditunjuk Soekarno
menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah lakon
Syahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai
Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri
Dalam Negeri.
Penculikan
Penculikan
Perdana Menteri Sjahrir merupakan peristiwa yang terjadi pada 26 Juni
1946
di Surakarta
oleh kelompok oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas
diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II
dengan pemerintah Belanda.
Kelompok ini menginginkan pengakuan kedaulatan penuh, sedangkan kabinet yang
berkuasa hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa
dan Madura.
Kelompok
Persatuan Perjuangan ini dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan
sipil, di antaranya Tan Malaka dari Partai Komunis
Indonesia. Perdana Menteri Sjahrir ditahan di
suatu rumah peristirahatan di Paras.
Presiden
Soekarno
sangat marah atas aksi penculikan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta
menangkap para pimpinan kelompok tersebut. Tanggal 1 Juli
1946, ke-14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan.
Tanggal
2 Juli
1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono
menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14 pimpinan penculikan.
Presiden
Soekarno marah mendengar penyerbuan penjara dan memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto,
pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan
penculikan. Lt. Kol. Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau
menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak
kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman.
Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol.
Soeharto sebagai perwira keras kepala (koppig).
Kelak
Let. Kol. Soeharto menjadi Presiden RI Soeharto dan menerbitkan catatan tentang
peristiwa pemberontakan ini dalam buku otobiografinya Ucapan, Pikiran dan
Tindakan Saya.
Lt.
Kol. Soeharto berpura-pura bersimpati pada pemberontakan dan menawarkan
perlindungan pada Mayjen Soedarsono dan ke 14 orang pimpinan di markas resimen
tentara di Wiyoro. Malam harinya Lt. Kol. Soeharto membujuk Mayjen Soedarsono
dan para pimpinan pemberontak untuk menghadap Presiden RI di Istana Presiden di
Jogyakarta. Secara rahasia, Lt. Kol. Soeharto juga menghubungi pasukan pengawal
Presiden dan memberitahukan rencana kedatangan Mayjen Soedarsono dan pimpinan
pemberontak.
Tanggal
3 Juli
1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya
dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta
oleh pasukan pengawal presiden. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli
1946 yang gagal.
Diplomasi
Syahrir
Setelah
kejadian penculikan Syahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar Negeri, tugas
sebagai Perdana Menteri diambil alih Presiden Soekarno. Namun pada tanggal 2 Oktober
1946,
Presiden menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat
melanjutkan Perundingan Linggarjati yang akhirnya
ditandatangani pada 15 November 1946.
Tanpa
Syahrir, Soekarno bisa terbakar dalam lautan api yang telah ia nyalakan.
Sebaliknya, sulit dibantah bahwa tanpa Bung Karno, Syahrir tidak berdaya
apa-apa.
Syahrir
mengakui Soekarno-lah pemimpin republik yang diakui rakyat. Soekarno-lah
pemersatu bangsa Indonesia. Karena agitasinya yang menggelora, rakyat di bekas
teritori Hindia Belanda mendukung revolusi. Kendati demikian, kekuatan raksasa
yang sudah dihidupkan Soekarno harus dibendung untuk kemudian diarahkan secara
benar, agar energi itu tak meluap dan justru merusak.
Sebagaimana
argumen Bung Hatta bahwa revolusi mesti dikendalikan; tak mungkin revolusi
berjalan terlalu lama, revolusi yang mengguncang ‘sendi’ dan ‘pasak’ masyarakat
jika tak dikendalikan maka akan meruntuhkan seluruh ‘bangunan’.
Agar
Republik Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak menampilkan wajah
bengis, Syahrir menjalankan siasatnya. Di pemerintahan, sebagai ketua Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan
Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada
KNIP sebagai lembaga yang punya fungsi legislatif. RI pun menganut sistem
multipartai. Tatanan pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik
pasca-Perang Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada massa rakyat,
Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan.
Dengan
siasat-siasat tadi, Syahrir menunjukkan kepada dunia internasional bahwa
revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan
demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari
cengkeraman kolonialisme pasca-Perang Dunia II. Pihak Belanda kerap melakukan
propaganda bahwa orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan yang brutal,
suka membunuh, merampok, menculik, dll. Karena itu sah bagi Belanda, melalui
NICA, menegakkan tertib sosial sebagaimana kondisi Hindia Belanda sebelum
Perang Dunia II. Mematahkan propaganda itu, Syahrir menginisiasi
penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh
para wartawan luar negeri.
Ada
satu cerita perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-kekerasan. Di
pengujung Desember 1946, Perdana Menteri Syahrir dicegat dan ditodong pistol
oleh serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet. Karena
geram, dipukullah Syahrir dengan gagang pistol. Berita itu kemudian tersebar
lewat Radio Republik Indonesia. Mendengar itu, Syahrir dengan mata sembab
membiru memberi peringatan keras agar siaran itu dihentikan, sebab bisa
berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-kamp tawanan oleh para
pejuang republik, ketika tahu pemimpinnya dipukuli.
Meski
jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I,
Kabinet Sjahrir II
sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947)
konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Syahrir tak ingin
konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih
canggih. Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai
komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk
berunding dengan pemerintah republik. Secara politik, hal ini berarti secara de
facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI.
Jalan
berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda
pada 21 Juli
1947.
Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).
Setelah tidak lagi menjabat Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III),
Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Dengan bantuan Biju Patnaik,
Syahrir bersama Agus Salim
berangkat ke Lake Success, New York melalui New Delhi dan Kairo untuk
menggalang dukungan India dan Mesir.
Pada
14 Agustus
1947
Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB.
Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia
sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas
dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan
satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Van Kleffens.
Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang
memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun turut campur,
sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian
Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.
Van
Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan Keamanan
PBB. Berbagai kalangan Belanda menilai kegagalan itu sebagai kekalahan seorang
diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang
diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir. Van Kleffens pun ditarik dari
posisi sebagai wakil Belanda di PBB menjadi duta besar Belanda di Turki.
Syahrir
populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan PBB,
terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa
surat kabar menamakan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat.
Syahrir
mewakili Indonesia di PBB selama 1 bulan, dalam 2 kali sidang. Pimpinan
delegasi Indonesia selanjutnya diwakili oleh Lambertus Nicodemus Palar (L.N.)
Palar sampai tahun 1950.[2]
Partai
Sosialis Indonesia
Selepas
memimpin kabinet, Sutan Syahrir diangkat menjadi penasihat Presiden Soekarno
sekaligus Duta Besar Keliling. Pada tahun 1948
Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia
(PSI) sebagai partai alternatif selain partai lain yang tumbuh dari gerakan
komunis internasional. Meskipun PSI berhaluan kiri dan mendasarkan pada ajaran Marx-Engels,
namun ia menentang sistem kenegaraan Uni Soviet. Menurutnya
pengertian sosialisme adalah menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan
mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia.
Hobi
Dirgantara dan Musik
Meskipun
perawakannya kecil, yang oleh teman-temannya sering dijuluki Si Kancil,
Sutan Syahrir adalah salah satu penggemar olah raga dirgantara, pernah
menerbangkan pesawat kecil dari Jakarta ke Yogyakarta pada kesempatan kunjungan
ke Yogyakarta. Di samping itu juga senang sekali dengan musik klasik, di mana
beliau juga bisa memainkan biola.
Akhir
hidup
Tahun
1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di
Indonesia. Setelah kasus PRRI tahun 1958[3],
hubungan Sutan Syahrir dan Presiden Soekarno memburuk sampai
akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960. Tahun 1962 hingga 1965, Syahrir ditangkap
dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Setelah itu
Syahrir diijinkan untuk berobat ke Zürich
Swis,
salah seorang kawan dekat yang pernah menjabat wakil ketua PSI Sugondo Djojopuspito
menghantarkan beliau di Bandara Kemayoran dan Syahrir memeluk
Sugondo degan air mata, dan akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April
1966.
Karya
- Pikiran dan Perjuangan, tahun 1950
(kumpulan karangan dari Majalah ”Daulat Rakyat” dan majalah-majalah lain,
tahun 1931 – 1940)
- Pergerakan Sekerja, tahun 1933
- Perjuangan Kita, tahun 1945
- Indonesische Overpeinzingen, tahun
1946 (kumpulan surat-surat dan karangan-karangan dari penjara Cipinang dan
tempat pembuangan di Digul dan Banda-Neira, dari tahun 1934 sampau 1938).
- Renungan Indonesia, tahun 1951
(diterjemahkan dari Bahasa Belanda: Indonesische Overpeinzingen
oleh HB Yassin)
- Out of Exile, tahun 1949
(terjemahan dari ”Indonesische Overpeinzingen” oleh Charles Wolf Jr. dengan
dibubuhi bagian ke-2 karangan Sutan Sjahrir)
- Renungan dan Perjuangan, tahun
1990 (terjemahan HB Yassin dari Indonesische Overpeinzingen dan
Bagian II Out of Exile)
- Sosialisme dan Marxisme, tahun
1967 (kumpulan karangan dari majalah “Suara Sosialis” tahun 1952 – 1953)
- Nasionalisme dan
Internasionalisme, tahun 1953 (pidato yang diucapkan pada Asian Socialist
Conference di Rangoon, tahun 1953)
- Karangan–karangan dalam
"Sikap", "Suara Sosialis" dan majalah–majalah lain
- Sosialisme Indonesia Pembangunan, tahun
1983 (kumpulan tulisan Sutan Sjahrir diterbitkan oleh Leppenas)
Jabatan
- Perdana Menteri pertama Republik Indonesia
- Ketua Partai Sosialis Indonesia (PSI)
- Ketua delegasi Republik Indonesia
pada Perundingan Linggarjati
- Duta Besar Keliling (Ambassador-at-Large)
Republik Indonesia
Bacaan rujukan
- Legge, J.D. Kaum Intelektual dan
Perjuangan Kemerdekaan. Peranan Kelompok Sjahrir. Jakarta, Pustaka Utama
Grafiti, 1993.
- Lampau dan Datang. Pidato Mohammad
Hatta pada penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah
Mada, 1956
- Mangunwijaya, Y.B. Dilema Sutan
Sjahrir: Antara Pemikir dan Politikus. Prisma, Agustus 1977.
- Mengenang Sjahrir, disunting oleh
H. Rosihan Anwar. Jakarta, Gramedia, 1980.
- Rudolf Mrazek. Sjahrir: Politik
dan Pengasingan di Indonesia. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1996.
Referensi:
-
[situs
Sutan Sjahrir.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar