tahun 150 Hijriah (767-820 M), berasal dari keturunan
bangsawan Qurays dan masih keluarga jauh rasulullah SAW. dari ayahnya, garis
keturunannya bertemu di Abdul Manaf (kakek ketiga rasulullah) dan dari ibunya
masih merupakan cicit Ali bin Abi Thalib r.a. Semasa dalam kandungan, kedua
orang tuanya meninggalkan Mekkah menuju palestina, setibanya di Gaza, ayahnya
jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah, kemudian beliau diasuh dan dibesarkan
oleh ibunya dalam kondisi yang sangat prihatin dan seba kekurangan, pada usia 2
tahun, ia bersama ibunya kembali ke mekkah dan di kota inilah Imam Syafi’i
mendapat pengasuhan dari ibu dan keluarganya secara lebih intensif.
Saat
berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar
bahkan beliau sempat 16 kali khatam Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah
menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan imam malik yang
berisikan 1.720 hadis pilihan juga dihafalnya di luar kepala, Imam Syafi’i juga
menekuni bahasa dan sastra Arab di dusun badui bani hundail selama beberapa
tahun, kemudian beliau kembali ke Mekkah dan belajar fiqh dari seorang ulama
besar yang juga mufti kota Mekkah pada saat itu yaitu Imam Muslim bin Khalid
Azzanni. Kecerdasannya inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat muda
(15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekkah, namun demikian Imam Syafi’i
belum merasa puas menuntut ilmu karena semakin dalam beliau menekuni suatu
ilmu, semakin banyak yang belum beliau mengerti, sehingga tidak mengherankan
bila guru Imam Syafi’i begitu banyak jumlahnya sama dengan banyaknya para
muridnya.
Meskipun
Imam Syafi’i menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih dikenal
sebagai ahli hadis dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang
ilmu tersebut, pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi sehingga beliau
digelari Nasuru Sunnah (Pembela Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi
mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, malah beberapa kalangan menyebutkan
bahwa Imam Syafi’i menyetarakan kedudukan sunnah dengan Al Quran dalam
kaitannya sebagai sumber hukum islam, karena itu, menurut beliau setiap hukum
yang ditetapkan oleh rasulullah pada hakekatnya merupakan hasil pemahaman yang
diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap Al Quran. Selain kedua sumber
tersebut (Al Quran dan Hadis), dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam
Syafi’i juga menggunakan Ijma’, Qiyas dan istidlal (penalaran) sebagai dasar
hukum islam.
Berkaitan
dengan bid’ah, Imam Syafi’i berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi dua
macam, yaitu bid’ah terpuji dan sesat, dikatakan terpuji jika bid’ah tersebut
selaras dengan prinsip prinsip Al Quran dan Sunnah dan sebaliknya. dalam soal
taklid, beliau selalu memberikan perhatian kepada murid muridnya agar tidak
menerima begitu saja pendapat pendapat dan hasil ijtihadnya, beliau tidak
senang murid muridnya bertaklid buta pada pendapat dan ijtihadnya, sebaliknya
malah menyuruh untuk bersikap kritis dan berhati hati dalam menerima suatu
pendapat, sebagaimana ungkapan beliau ” Inilah ijtihadku, apabila kalian
menemukan ijtihad lain yang lebih baik dari ijtihadku maka ikutilah ijtihad
tersebut “.
Diantara
karya karya Imam Syafi’i yaitu Al Risalah, Al Umm yang mencakup isi beberapa
kitabnya, selain itu juga buku Al Musnadberisi tentang hadis hadis
rasulullahyang dihimpun dalam kitab Umm serta ikhtilaf Al hadis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar